DEPAN

DEPAN
Photobucket

Ust. Abdullah Said

Senin, 21 Desember 2009
0 komentar
Muhsin Kahar dilahirkan tepat pada hari proklamasi kemerdekaan R.I. Jum’at, 17 Agustus 1945 di sebuah desa bernama Lamatti Rilau, salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Letaknya berada pada ketinggian sehingga dari desa ini dapat terlihat jelas hamparan pulau-pulau yang ada di perairan Teluk Bone. Terutama Pulau-pulau Sembilan yang terdiri dari Pulau Kambuno, Pulau Liang-Liang, Pulau Burung Lohe, Pulau Batang Lampe, Pulau Kodingareng, Pulau Katindoang,  Pulau Kanalo Satu, Pulau Kanalo Dua dan Pulau Larearea. Pemandangan ke arah hamparan pulau-pulau inilah yang membuat perasaan agak terbuka atas keterpencilan kampung ini.

Pada saat kelahirannya, ayahnya, Kyai Abdul Kahar Syuaib menjabat sebagai Imam di Kampung Lamatti yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Panreng (dalam bahasa setempat panreng berarti kuburan). Karena ayahnya seorang ulama yang kharismatik di tempat itu, sehingga keluarganya mendapat tempat tersendiri dimata masyarakat. Ayahnya lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang,[1] karena cukup lama menjadi imam di kampung itu.

Nama Muhsin Kahar berubah menjadi Abdullah Said pada saat menjadi buronan sehubungan dengan Peristiwa pengganyangan perjudian di Makassar yang disebut lotto (lotre totalisator) yang dia dalangi pada  Hari Kamis 28 Agustus 1969.

Ayahnya tiga kali nikah tapi tidak dengan memadu, menghasilkan 12 orang anak. Ibu Muhsin Kahar bernama Aisyah, lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica.  Merupakan istri terakhir dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki: Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’)[2], Muhsin Kahar (Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’).

Dari istri pertama, Nafisah  lahir dua orang anak: Asiah Kahar, meninggal dalam usia 3 tahun  dan Muhammad Djamil Kahar (Puang Milu).

Dari istri kedua, Bun-yamin (Puang Bune), lahir Zubair Kahar (Puang Bere'), Juhaefah Kahar (Puang Efah), Radhiyah Kahar (Puang Radi), Maryam Kahar (Puang Mari’), Hamdanah Kahar (Puang  ‘Ndah) dan Sitti Zulaiha Kahar (Puang Itti).

Ketika masih dalam kandungan sempat menjadi bahan perbincangan dikalangan keluarga. Karena usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun sang anak belum juga lahir. Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapanpun yang dikehendaki oleh Allah SWT. Pendapat itu diperkuat oleh pamannya, sorang ulama , K.H. Hasan Syuaib, Kadhi Bulo-Bulo di Sinjai, ayah kandung K.H.Ahmad Marzuki Hasan yang populer dengan sebutan Kali Cambang. Sejak usia kandungan itu memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa. Sang ayah marah besar kalau mendengar tanggapan miring seperti itu. Karena ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak akan jadi orang hebat, sebagaimana halnya Imam Syafi’i  yang juga lama dalam kandungan.

Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir juga dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi  pada umumnya di sebuah rumah di Kampung Panreng. Kampung yang juga tempat kelahiran beberapa orang yang tergolong tokoh seperti K.H.Ahmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Kementerian (KpK)  Dalam  Negeri dan KpK Penerangan - DI/TII dibawah pimpinan  Abdul Qahhar Mudzakkar,  mantan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa-Maros  Sulsel. Juga kampung kelahiran Drs. H. Muhammad Suyuthi PaE, mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulsel, dosen senior IAIN Alauddin Makassar. Dan juga kampung kelahiran seorang mantan pejabat pusat Departemen Perhubungan, Ir. H. Andi Sulthan Said, yang menyelesikan pendidikannya di Jepang kemudian menjadi  Direktur Utama (Dirut) BKI (Badan Klasifikasi Indonesia).

Pada saat kelahirannya kampung ini masih sangat ketinggalan dari segi pembangunan fisik. Jalanan dari kampung ini menuju ibu kota kabupaten jauh dari apa yang terlihat sekarang, yang sudah beraspal dengan kendaraan sepeda motor dan kendaraan roda empat yang tidak putus-putusnya. Waktu itu orang-orang kampung yang ingin berkunjung  ke kota kabupaten umumnya berjalan kaki, paling banter menggunakan sepeda engkol atau menunggang kuda. Sehingga jarak yang begitu dekat, empat kilometer,  harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama.

Kota Sinjai yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai sendiri masih sangat jauh tertinggal dibanding kota-kota lain di Indonesia. Penerangan listriknya yang dikelola oleh MPS (maskapai perusahaan sejenis), masih redup-redup. Bahkan hingga akhir tahun enampuluhan Sinjai masih tergolong daerah yang sangat tertinggal. Dalam sebuah majalah terbitan ibu kota pernah memuat sebuah iklan yang mempromosikan salah satu jenis obat yakni salonpas, berbunyi, “Dikenal mulai dari Jakarta sampai Sinjai”. Ini menggambarkan betapa tertinggalnya Kabupaten Sinjai.

Namun bagaimanapun tertinggalnya dari segi pembangunan fisik tapi maraknya kehidupan beragama patut dibanggakan. Orang tuanya sendiri sebagai ulama di kampung itu sekaligus sebagai imam di Tingkat Distrik (kecamatan sekarang) memiliki banyak murid yang belajar padanya. Demikian pula di kota Sinjai ada dua ulama besar, K.H.Muhammad Thahir yang menjadi kadhi di Balangnipa yang dikenal dengan sebutan Kali Thahirong dan K.H. Hasan yang menjabat sebagai Kadhi Bula-Bulo yang dikenal dengan sebutan Kali Cambang. Kondisi ini sangat menolong pertumbuhan spritual Muhsin kecil. Sehingga ketertinggalan yang dialami kampungnya serta daerah Sinjai pada umumnya baginya mengandung hikmah yang besar.  Karena dengan demikian involusi moral yang terjadi di kota-kota besar tidak sempat merembes ke daerah ini. Terhambat oleh transportasi yang belum lancar, disebabkan jalanan belum licin, jembatan banyak mengalami kerusakan. Apalagi memang kendaraan waktu itu masih dapat dihitung jari. Bacaan-bacaan yang dapat merusak moral anak belum banyak dikenal masyarakat. Pemilik pesawat radio saja  masih sangat terbatas, disebabkan tingkat perekonomian masih sangat rendah.

Untuk pendidikan dasarnya dia sangat tertolong dengan adanya Sekolah Dasar yang waktu itu bernama Sekolah Rakyat didirikan di kampungnya. Di sekolah itulah dia belajar. Namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954 karena  terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta itu mengikuti sang ayah yang pindah ke Makassar. Ketika itu kondisi keamanan di Sinjai semakin mencekam.  Apalagi dengan terbunuhnya seorang anggota polisi yang ditengarai pembunuhnya adalah Zubair Kahar, komandan pemberontak yang saudara kandung Muhsin Kahar.  Ayahnya setiap saat mendapat panggilan untuk diinterogasi sehubungan dengan pembunuhan yang dihubungkan dengan anak kandungnya itu. Itu yang membuat sang ayah merasa terusik sehingga tidak betah lagi tinggal di kampung, memilih hijrah ke Makassar untuk mencari ketenangan.
Pindah Ke Makasar

Agak berat juga rasanya  meninggalkan kampung halaman yang telah membesarkannya itu. Betapapun bersahajanya kampung itu namun baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Letak desanya yang ada pada ketinggian dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Sulit terlupakan manis dan lezatnya pao apang. Ada juga penjang, jenis ikan teri benang, halus berwarna putih, munculnya hanya sekali dalam setahun. Biasanya dipanggang dengan menggunakan daun pisang sebagai pembungkus. Makannya dicampur dengan garam, cuka atau jeruk nipis dan lombok. Sedap sekali. Juga ikan teri basah yang direbus pakai asam dicampur dengan biji jampu sereng (jambu monyet) yang masih muda, teramat sedap dijadikan lauk. Juga buah yang disebut coppeng ( jamblang, jambu keling), jampu salo’ (jambu air) dan jambu biji yang semuanya mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang.

Apalagi kakeknya (ayah dari ibunya) yang dikenal dengan panggilan Emme. Nama sebenarnya adalah Puang Adang sangat rajin berkebun. Pribadinya sangat menarik. Banyak sekali buah-buahan dalam kebunnya. Orang kampung mengenalnya sebagai orang tua yang rajin berzikir. Pada waktu mencangkul atau menyabit rumput dia lakukan sambil berzikir, kedengaran bergumam dari jauh. Tidak pernah mau menjual hasil kebunnya. Kalau hasil kebunnya dicuri orang lalu ada yang melaporkan kepadanya, Puang Emme hanya ketawa sambil menjawab, "Makessinni tu ko iyatona mmalangi alena, nasaba nakko iya' malangngi, depa nattentu napujina"[4]..   Dan masih banyak lagi kenangan yang mengandung nilai nostalgik yang sangat sulit dilupakan. Juga kehidupan orang desa yang diwarnai keramahan, gotong royong dan persaudaraan yang kental yang sulit ditemukan pada kehidupan masyarakat kota.

Kini dia harus berangkat meninggalkan kampung yang telah memberinya warna hidup baik fisik maupun jiwa, menuju kota Makassar, 227 Km dari kampungnya. Sebuah kota besar yang sudah lama dikenal namanya namun belum pernah hidup didalamnya. Informasi yang sering didengarnya bahwa kehidupan perkotaan adalah cenderung kejam. Tapi dibalik itu sering pula menangkap cerita bahwa di kota besar juga kita dapat menjadi orang besar, sesuatu yang dicita-citakannya.

Memprihatinkan, memang, kehidupan yang dijalaninya pada waktu bermula tiba di Ibu Kota Propinsi Sulawesi. Apa boleh buat terpaksa harus dijalaninya. Maklum orang tua tidak punya pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Tetapi karena orang tuanya seorang ulama yang kharismatik sehingga anggota masyarakat di lingkungan yang dia tempati yang kebanyakan berasal dari kampungnya, Sinjai, sehingga sang ayah ditempatkan secara proporsional.

Di Kampung Malimongan Baru (Jalan Pong Tiku dan sekitarnya sekarang) dipercayakan mengimami sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Lailatul Qadri sambil memberi tuntunan agama di mesjid itu. Lewat kegiatan ini keperluan hidup agak teratasi namun sangat jauh dari cukup. Untung sang Ibu sangat giat mencari nafkah untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Baru anak yang tertua, Djunaid Kahar yang telah berumah tangga. Tapi belum sanggup juga membantu. Apalagi di rumah yang ditempati itu ternyata banyak juga keluarga yang nebeng. Keluarga dari kampung yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum memiliki rumah tempat tinggal. Rumah ini dijadikan tempat transit sambil mencari lowongan kerja.

Ada keluarga dekat yang bernama Haji Muhiddin, yang lebih populer dikalangan keluarga dengan panggilan Tuang Muhidding. Jabatannya lumayan tinggi sebagai Menteri Kejaksaan Negara Indonesia Timur (NIT), cukup berjasa menampung beberapa orang keluarga bekerja di Kejaksaan.

Pemandangan baru yang dia saksikan yang sangat tidak mengenakkan perasaannya di Makassar adalah seringnya ada orang yang mabuk-mabukan dengan teriakan-teriakan yang tidak sedap didengar telinga. Mereka berkumpul di satu tempat yang disebut lontang.  Ditempat itu mereka minum ballo beramai-ramai sambil makan baluta, atau ikan, ayam atau bebek yang dipanggang. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan karena persoalan sepele, karena ketersinggungan perasaan atau karena persoalan perempuan, dll. Semuanya tidak pernah disaksikan dikampungnya.
Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin Kahar meneruskan sekolahnya di kota itu. Ia diterima duduk di Kelas IV Sekolah Rakyat  No 30. Dijalaninya hingga tahun 1958. Di SR ini dia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk pelajaran menggambar. Padahal semestinya murid-murid yang berada di kota lebih unggul dibanding murid-murid  dari pedalaman karena pelajarannya lebih teratur dan lebih tinggi materinya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Murid-murid yang lahir dan besar di kota dikalahkannya semua. Dia pernah mengangkat nama sekolahnya karena ketika diadakan pertandingan menggambar antar sekolah dasar se Kota Besar Makassar (KBM), hasil coretannya dinilai terbaik. Dia juga sering di tugaskan oleh gurunya menyalin pelajaran di papan tulis karena tulisannya sangat bagus.
Ketika mengikuti ujian akhir Sekolah Rakyat dia mendapatkan nilai tertinggi. Sehingga sangat memungkinkan memilih sekolah favorit. Dia tidak memilih sekolah umum tapi mengincer sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 tahun).  Dia memilih sekolah ini untuk melanjutkan pendidikannya karena disamping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang sangat didambakan waktu itu. Karena tamatan sekolah ini tidak perlu lagi melamar kerja, langsung ditempatkan. Sekolah ini satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di kawasan Indonesia Timur.

Satu kebanggaan tersendiri kalau dapat lolos masuk ke sekolah ini karena yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi dan lulus test dilengkapi surat keterangan dokter. Disektor lain  sangat menguntungkan terutama bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi pembiayaan seperti dia.  Karena siswa-siswa di sekolah ini setiap bulannya menerima tunjangan ikatan dinas (siswa-siswa menyingkatkannya dengan sebutan ID). Dia sangat senang karena dengan diterimanya di sekolah ini, sedikit dapat meringankan beban orang tua untuk pembiayaan sekolah.

Di sekolah ini dia juga selalu menjadi bintang kelas dan terkenal sebagai siswa yang pandai pidato. Disamping itu dia juga selalu menjadi ketua kelas hingga kelas VI. Dalam pertemuan-pertemuan selalu dia dipercayakan memimpin.  Memang sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun itu dia sudah dikenal sebagai siswa yang berpengetahuan luas. Mungkin karena kerajinannnya membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan memang hampir tidak ada yang tersisa, semua dibelikan buku-buku. Tidak seperti teman-temannya  yang menjadi prioritas  adalah pakaian untuk penampilan. Maklum di sekolah itu bercampur antara cowok dengan cewek.

Ceweknya rata-rata cantik-cantik dan manis-manis. Muhsin Kahar sangat kurang perhatiannya kepada pakaian. Sehingga sering dia dengan tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci dan belum sempat kering. Dia juga akrab dengan kopiah hitam di kepalanya. Teman-temannya sering ketawa sinis melihatnya, karena tidak lazim, tapi dia cuek saja termasuk terhadap cewek-cewek manis. Karena tidak ada juga teman wanitanya yang akrab. Dia tidak pusing dengan kesinisan teman-temannya. Soalnya gurunya diam-diam saja menyaksikan keanehan itu. Mungkin karena dia termasuk siswa yang sangat berprestasi dari segi pelajaran dan sektor-sektor lain. Lagi pula peraturan tentang pakaian waktu itu belum seketat sekarang.

Hal lain yang menyenangkan dia belajar di sekolah ini karena dapat berkenalan dengan siswa-siswa yang berasal dari beberapa daerah seperti Ternate, Manado, Gorontalo, Sangir Talaud, Sulawesi Tenggara dan siswa-siswa yang berasal dari Sulawesi Selatan sendiri.

Meninggalkan Bangku Kuliah

Lulus dari sekolah lanjutan PGA Neg. 6 tahun juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar[9] ke IAIN[10](Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya satu tahun mengikuti kuliah lalu berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan. Walaupun pada waktu itu titel sarjana sangat mahal, bisa membuat orang besar kepala. Menurut dia lebih tepat kalau aktif di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca. Itulah yang menjadi alasannya sehingga meninggalkan bangku kuliah.

Ketika dia telah menjadi pimpinan pesantren yang telah memiliki cabang di seluruh Indonesia, sering dia mengungkapkan bahwa, “Seandainya saya dulu meneruskan kuliah sampai sarjana, paling banter hanya menjadi kepala kantor Departemen Agama di Sulawesi Selatan, iutpun kalau memenangkan pertarungan, bergelut dengan urusan yang bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana yang sering diungkapkan rekan-rekan bekas teman sekolahnya yang menduduki jabatan itu.

Terusik juga perasaannya kalau teman-teman sekuliahnya menganggap dia sombong tidak mau mengikuti kuliah karena telah mengetahui apa yang dikuliahkan oleh dosen-dosen. Tapi karena dia memiliki pandangan sendiri terhadap dunia perkuliahan yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu berbincang ngalor ngidul antara teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, bahkan terkadang mengarah kepada hal-hal yang sebenarnya sangat tidak wajar dibicarakan. Apalagi sebagai mahasiswa-mahasiswi yang menyandang predikat mahasiswa-mahasiswi Islam.  Sehingga dia berfkir untuk amannya dia memilih berhenti dari kegiatan kuliah dari pada setiap hari menderita batin.

Dia merasakan apa yang diperolehnya selama ini lewat organisasi, membaca buku-buku, mengikuti ceramah-ceramah di mesjid dan belajar langsung kepada ulama-ulama serta berkutat dalam dunia da’wah, lebih banyak dari apa yang diperoleh lewat bangku kuliah. Apalagi kalau dosennya hanya menggunakan gaya diktator alias membuat dan menjual diktat.
Baca selengkapnya »

HIDAYATULLAH

Senin, 30 November 2009
0 komentar

Sejarah

Hidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973 (kalender Islam: 2 Dzulhijjah 1392 Hijr) di Balikpapan dalam bentuk sebuah pesantren oleh Ust. Abdullah Said (alm), kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional I pada tanggal 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam.
Sejak 1978 Hidayatullah melakukan pengiriman da’i ke seluruh Indonesia dan mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah ( STIM-HIDA ) di Depok, Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan untuk pengkaderan da’i dengan memberlakukan beasiswa penuh (biaya pendidikan dan biaya hidup) bagi mahasiswa STAIL dan STIS dengan pola ikatan dinas. Da'i ini kemudian mendapatkan tunjangan maksimal hingga 3 tahun atau sampai mereka mampu menjadi pelaku ekonomi di tempatnya berada.
Mulai tahun 1998 lembaga pendidikan kader da’i ini telah menghasilkan lulusan dan telah mengirimkan da’i ke berbagai daerah terutama Indonesia Bagian Timur dan Tengah. Setidaknya setiap tahun, Hidayatullah mengirimkan 150 da’i ke berbagai daerah di Indonesia dengan 50 di antaranya adalah lulusan strata satu dari lembaga pendidikan kader da’i.
Lembaga pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan kelompok bermain pra sekolah, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah setidaknya ada di setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya, Balikpapan dan Depok.
Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) adalah institusi berupa pesantren bagi anak yatim piatu. Ada lebih dari 200 Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) dengan jumlah anak yatim piatu dan tidak mampu dimana setiap PPAS menampung sekitar 150 orang anak.
Jaringan kerja Hidayatullah (hingga Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26 DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat di Pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar Pulau Jawa. Pada akhir 2006 direncanakan terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR tidak dicantumkan karena pertumbuhannya yang terus berubah.
Untuk periode 2005-2010, Pimpinan Umum/Ketua Dewan Syura adalah Ustadz H Abdurrahman Muhammad sedangkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dijabat oleh Dr. H. Abdul Mannan, didampingi Sekjend BM Wibowo.
Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan tarbiyah sebagai program utamanya. Keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, dimana usahanya berfungsi sebagai basis pendidikan dan pengkaderan.
Metode (manhaj nubuwwah') Hidayatullah yaitu berpegang pada al Qur’an dan as-Sunnah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hidayatullah berfokus pada pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah (tajdid); pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah); pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus); pengajaran dan pendidikan (ta’limatul-kitab wal-hikmah) dengan tujuan akhir melahirkan kepemimpinan dan ummat.

[sunting] Struktur dan mekanisme organisasi

Pengurus organisasi tingkat pusat terdiri dari Dewan Syura dan Dewan Pimpinan Pusat. Dewan Syura merupakan lembaga tertinggi organisasi, dipimpin oleh Ketua Dewan Syura yang sekaligus merupakan Imam bagi jamaah Hidayatullah, dengan sebutan Pemimpin Umum. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat dipilih lewat Musyawarah Nasional, dan Pengurus DPP disahkan oleh Pemimpin Umum di dalam Munas tersebut untuk jangka waktu 5 tahun.
Struktur di bawah Dewan Pimpinan Pusat (DPP)terdiri dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW/tingkat Provinsi), Dewan Pimpinan Daerah (DPD/tingkat Kabupaten/Kota), Dewan Pimpinan Cabang (DPC/tingkat Kecamatan), Pimpinan Ranting (PR/tingkat Desa/Kelurahan), Pimpinan Anak Ranting (PAR/tingkat RW/RT). Ketua Dewan Pimpinan Wilayah/Daerah/Cabang dipilih oleh Musyawarah di tingkat masing-masing dan disahkan oleh struktur di atasnya.

[sunting] Pesantren Hidayatullah

Artikel utama Pesantren Hidayatullah
Pesantren-Pesantren Hidayatullah berfungsi sebagai tempat untuk mendalami ilmu. Pesantren ini dihuni santri yang tinggal di asrama, guru, pengasuh, pengelola dan jamaah Hidayatullah.
Pola pengajaran di Pesantren Hidayatullah adalah sistem pesantren modern, yaitu penggabungan mata ajaran umum dan mata ajaran khusus atau keislaman. Mata ajaran umum sama seperti mata ajaran pada sekolah - sekolah umum lainnya, contohnya matematika, fisika, kimia dll. Mata ajaran khusus yaitu mata ajaran yang berkaitan dengan keislaman, contohnya aqidah, fiqih, bahasa arab, dan hafalan/tahfidz Al Qur'an, serta masih banyak lagi mata ajaran yang lain, sesuai dengan jenjang pendidikan dan letak kampus (contoh: kurikulum di Surabaya sedikit berbeda dengan di Jakarta).

Panorama Pesantren Hidayatullah di Kampus Gunung Tembak, Balikpapan

[sunting] Baitul maal Hidayatullah

Baitul Maal Hidayatullah (BMH) adalah lembaga di bawah Hidayatullah yang berfungsi mengelola dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf ummat. Baitul Maal Hidayatullah (BMH) mendapat pengukuhan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 538 tahun 2001.
BMH mengelola dana milik ummat yang dipercayakan kepada Hidayatullah untuk disalurkan bagi pemberdayaan ummat, memajukan lembaga-lembaga pendidikan maupun sosial, memajukan dakwah Islam, mengentaskan kaum dhuafa (lemah) maupun mustadh’afin (tertindas).
Kini Baitul Maal Hidayatullah telah memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra).

[sunting] Majalah Suara Hidayatullah

Artikel utama Majalah Suara Hidayatullah
Majalah Suara Hidayatullah, atau biasa disingkat Majalah Hidayatullah merupakan salah satu dari badan usaha di lingkungan Hidayatullah yang menggarap bidang pers. Majalah ini dikelola oleh PT Lentera Jaya Abadi, sebuah badan usaha milik ormas Hidayatullah.

Salah satu cover majalah Suara Hidayatullah
Awalnya, majalah ini hanya berupa buletin hasil karya beberapa santri di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Mengingat betapa strategisnya dakwah bil qalam melalui media massa, buletin tersebut terus dikembangkan sampai akhirnya berbentuk majalah seperti sekarang.
Majalah Suara Hidayatullah berisi tentang problematika dan dinamika dakwah, baik di Indonesia maupun dunia. Di dalamnya ada rubrik wawancara dengan tokoh ternama, kajian al-Qur`an dan Hadits, kisah kepahlawanan perjuangan da’i di berbagai pelosok tanah air, hingga masalah keluarga.
Tiras majalah yang terbit sebulan sekali ini sekarang mencapai 50.000-55.000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari Banda Aceh sampai Merauke. Majalah Suara Hidayatullah berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.

[sunting] Muslimat Hidayatullah (Mushida)

Mushida merupakan organisasi otonom Hidayatullah, yang telah memiliki 15 Pengurus Wilayah (PW) di seluruh Indonesia. Mushida bergerak dalam bidang da’wah, pendidikan, dan sosial, dengan fokus garapan adalah pemberdayaan wanita, keluarga dan anak.
Visi Muslhida adalah “Membangun keluarga Qur’ani sebagai tonggak utama terwujudnya masyarakat bertauhid”. Untuk menggapai visi tersebut maka setiap program Mushida mengarah kepada pembentuk pribadi muslimah dalam menunjang perannya sebagai pribadi, istri, ibu dan sebagai anggota masyarakat.
Program pembinaan anggota berupa kegiatan majelis ta’lim yang dilaksanakan secara rutin. Pembinaan yang lebih intensif dilaksanakan melalui Halaqah Tarbiyah, kelompok belajar yang beranggotakan maksimal 10 orang dan dengan kurikulum yang telah ditentukan.
Korps Da’iyah Mushida (KDM) adalah divisi dari Mushida yang bertugas mempersipakan da’iyah yang akan diterjunkan langsung ke tengah-tengah masyarakat, dan senantiasa meningkatkan kuantitas dan kualitas da’iyah melalui berbagai kegiatan pengkaderan dan pelatihan rutin.
Di bidang pendidikan, Mushida mengemban amanah untuk mengembangkan lembaga pendidikan Hidayatullah pada tingkatan Taman Kanak-Kanak, Taman bermain, Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Untuk meningkatkan kualitas guru dilakukan pelatihan rutin, pembinaan manajemen, penerbitan bulletin hingga penyediaan tenaga guru.

[sunting] Induk Koperasi Hidayatullah (Inkophida)

Induk Koperasi Hidayatullah (Inkophida) adalah koperasi sekunder yang menjadi wadah seluruh jaringan Koperasi Hidayatullah yang tersebar diseluruh Indonesia. Inkophida didirikan di Jakarta pada tahun 1999, dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Koperasi dan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor : 013/BH/M.1/1999, tanggal 9 April 1999. Saat ini Inkophida memiliki 9 (sembilan) Puskophida (Pusat Koperasi Hidayatullah) ditingkat provinsi dan 142 Kophida (Koperasi Primer Hidayatullah) di tingkat Kabupaten/Kota. Visi Inkophida adalah membangun jaringan ekonomi ummat yang berkeadilan dan saling menguntungkan.

[sunting] Hidayatullah dan pemberdayaan masyarakat pedalaman

Sebagai organisasi yang lahir di Kalimantan Timur, maka Hidayatullah memiliki perhatian besar terhadap pengembangan wilayah Kalimantan.
Selain di Kalimantan, Hidayatullah juga memberikan perhatian kepada Irian (Papua). Di hampir semua kota di Papua, terdapat da’i Hidayatullah, yang salah satu kegiatannya adalah mendirikan pesantren, dengan menerima murid dari lingkungan setempat. Hal serupa dilakukan di Timor Timur sebelum kawasan itu lepas dari Indonesia.

[sunting] Pranala luar

Baca selengkapnya »

Sejarah Pesantren Hidayatullah

0 komentar

Sejarah Pesantren Hidayatullah

Menyebut Kalimantan, yang terbayang adalah hutan belantara. Apalagi di medio '70-an hutan di sana mungkin masih perawan sekali. Tapi siapa kira ada sekelompok Ustadz dari tanah Jawa 'nekat' menembus hutan dan mendirikan pondok pesantren di sana. Pondok Pesantren Hidayatullah, di Kecamatan Tritip Gunung Tembak Balikpapan Kalimantan Timur mulanya adalah hutan belantara tadi.

Kini, pesantren yang pernah meraih Kalpataru tahun 1984 itu telah memiliki 150 cabang di seluruh Indonesia. Beberapa pejabat teras, baik daerah maupun pusat, silih berganti datang ke pesantren itu. Mantan Presiden Habibie dan Wakil Presiden hamzah Haz adalah dua di antara mereka. Sejumlah ulama, baik dalam dan luar negeri, juga ikut berceramah di sana.

Adalah Ustadz Abdullah Said yang pertama kali datang ke daerah ini dan menggagas berdirinya Pesantren Hidayatullah. Saat itu, awal tahun 1970-an, ia ditemani beberapa ustadz muda jebolan pesantren terkenal di tanah Jawa, seperti Gontor, Krapyak (Yogyakarta) dan Pendidikan Majelis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.

Sebelum bangunan pesantren berdiri mereka menggunakan tempat-tempat ala kadarnya untuk berdakwah. Mereka meminjam rumah penduduk untuk mengaji, menyelenggarakan kursus mubaligh, dan melakukan persiapan awal pendirian pesantren.

Setelah masa peminjaman rumah penduduk selesai, mereka terpaksa tinggal di tempat jemuran padi berukuran 3 x 4 meter. Tempat itu mereka sulap menjadi ruang serba guna: makan, tidur, shalat, belajar, dan terima tamu, semua dilakukan di ruangan itu.

Di tengah-tengah upaya menyebarkan syiar Islam tersebut fitnah merebak. Ada pihak-pihak yang tak berkenan dengan aktivitas Ustaz Abdullah Said dan santri-santrinya. Pukulan paling telak terjadi saat penangkapan sang ustadz atas tudingan terlibat gerakan reaksi sebagian pemuda Islam Ujung Pandang atas judi massal (toto). Untunglah setelah diklarifikasi ia dinyatakan tak bersalah dan dibebaskan kembali sebulan kemudian.
Baca selengkapnya »

sejarah hidayatullah

2 komentar
Hidayatullah lahir pada saat umat Islam sedang menantikan datangnya abad XV H yang diyakini sebagai Abad Kebangkitan Islam. Tema pokoknya pada saat itu adalah “Back to Qur’an and Sunnah”. Hidayatullah adalah sebuah gerakan pemikiran yang mencoba menerjemahkan slogan “Back to Qur’an and Sunnah” secara lebih konkrit sehingga a-Qur’an dan as-Sunnah menjadi ‘blue print’ pengembangan peradaban Islami.
Hidayatullah memandang bahwa kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena pandangan yang parsial dalam memahami keholistikan ajaran Islam. Masing-masing kelompok mengambil tema dan titik tekan program sesuai dengan pandangannya yang sangat parsial bahkan tema dan titik program itu seringkali menjadi semacam ‘ideologi’ kelompok
Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan tarbiyah sebagai program utamanya.
Hidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973 / 2 Dzulhijjah 1392 H di Balikpapan dalam bentuk yayasan sebuah pesantren, oleh Ust. Abdullah Said (alm). Dari sebuah bentuk pesantren, Hidayatullah kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional I pada tanggal 9–13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas), dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam.
Ormas Hidayatullah
Sebagai organisasi massa, keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, demikian pula misi, visi, dan konsep dasar gerakannya. Hidayatullah menjadikan amal-amal usahanya bersifat otonom, dan berfungsi sebagai basis pendidikan dan perkaderan.
Hidayatullah merupakan wadah bagi komponen ummat Islam yang ingin mewujudkan idealismenya membangun masyarakat Islami dengan mengacu kepada metode/manhaj nubuwwah. Hidayatullah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, karena itu segala urusan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Agenda utama Hidayatullah adalah; pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah (tajdid); pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah); pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus); pengajaran dan pendidikan (ta’limatul-kitab wal-hikmah) menuju lahirnya kepemimpinan dan ummat terbaik.

Tujuan
Membangun peradaban Islam

Visi 2005-2010
Menjadi organisasi tingkat nasional yang unggul dan berpengaruh, didukung jaringan yang loyal dan berkualitas.

Misi
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM.
2. Mengintensifkan pelayanan ummat melalui aktivitas pendidikan dan dakwah
3. Mewujudkan kemandirian ekonomi
4. Mendorong penegakan Islam pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.
Struktur dan Mekanisme Organisasi
Pengurus Organisasi Tingkat Pusat terdiri dari Dewan Syura dan Dewan Pimpinan Pusat. Dewan Syura merupakan lembaga tertinggi organisasi, dipimpin oleh Ketua Dewan Syura yang sekaligus merupakan Imam bagi jamaah Hidayatullah, dengan sebutan Pemimpin Umum.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat dipilih lewat Musyawarah Nasional, dan Pengurus DPP disahkan oleh Pemimpin Umum di dalam Munas tersebut untuk jangka waktu 5 tahun.

Struktur di bawah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) terdiri dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW/tingkat Provinsi), Dewan Pimpinan Daerah (DPD/tingkat Kabupaten/Kota), Dewan Pimpinan Cabang (DPC/tingkat Kecamatan), Pimpinan Ranting (PR/tingkat Desa/Kelurahan), Pimpinan Anak Ranting (PAR/tingkat RW/RT). Ketua Dewan Pimpinan Wilayah/Daerah/Cabang dipilih oleh Musyawarah di tingkat masing-masing dan disahkan oleh struktur di atasnya.
Jaringan kerja (networking) Hidayatullah (hingga Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26 DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat di Pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar Pulau Jawa. Pada akhir 2006 direncanakan terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR tidak dicantumkan karena pertumbuhannya yang terus berubah.
Baca selengkapnya »
 

Template Information

Contact Us

Kotak Pesan

Random Post

husnah

statistics

visitor

Followers

Copyright © Hidayatullah Medan All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv