DEPAN

DEPAN
Photobucket

Ust. Abdullah Said

Senin, 21 Desember 2009
0 komentar
Muhsin Kahar dilahirkan tepat pada hari proklamasi kemerdekaan R.I. Jum’at, 17 Agustus 1945 di sebuah desa bernama Lamatti Rilau, salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Letaknya berada pada ketinggian sehingga dari desa ini dapat terlihat jelas hamparan pulau-pulau yang ada di perairan Teluk Bone. Terutama Pulau-pulau Sembilan yang terdiri dari Pulau Kambuno, Pulau Liang-Liang, Pulau Burung Lohe, Pulau Batang Lampe, Pulau Kodingareng, Pulau Katindoang,  Pulau Kanalo Satu, Pulau Kanalo Dua dan Pulau Larearea. Pemandangan ke arah hamparan pulau-pulau inilah yang membuat perasaan agak terbuka atas keterpencilan kampung ini.

Pada saat kelahirannya, ayahnya, Kyai Abdul Kahar Syuaib menjabat sebagai Imam di Kampung Lamatti yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Panreng (dalam bahasa setempat panreng berarti kuburan). Karena ayahnya seorang ulama yang kharismatik di tempat itu, sehingga keluarganya mendapat tempat tersendiri dimata masyarakat. Ayahnya lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang,[1] karena cukup lama menjadi imam di kampung itu.

Nama Muhsin Kahar berubah menjadi Abdullah Said pada saat menjadi buronan sehubungan dengan Peristiwa pengganyangan perjudian di Makassar yang disebut lotto (lotre totalisator) yang dia dalangi pada  Hari Kamis 28 Agustus 1969.

Ayahnya tiga kali nikah tapi tidak dengan memadu, menghasilkan 12 orang anak. Ibu Muhsin Kahar bernama Aisyah, lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica.  Merupakan istri terakhir dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki: Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’)[2], Muhsin Kahar (Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’).

Dari istri pertama, Nafisah  lahir dua orang anak: Asiah Kahar, meninggal dalam usia 3 tahun  dan Muhammad Djamil Kahar (Puang Milu).

Dari istri kedua, Bun-yamin (Puang Bune), lahir Zubair Kahar (Puang Bere'), Juhaefah Kahar (Puang Efah), Radhiyah Kahar (Puang Radi), Maryam Kahar (Puang Mari’), Hamdanah Kahar (Puang  ‘Ndah) dan Sitti Zulaiha Kahar (Puang Itti).

Ketika masih dalam kandungan sempat menjadi bahan perbincangan dikalangan keluarga. Karena usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun sang anak belum juga lahir. Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapanpun yang dikehendaki oleh Allah SWT. Pendapat itu diperkuat oleh pamannya, sorang ulama , K.H. Hasan Syuaib, Kadhi Bulo-Bulo di Sinjai, ayah kandung K.H.Ahmad Marzuki Hasan yang populer dengan sebutan Kali Cambang. Sejak usia kandungan itu memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa. Sang ayah marah besar kalau mendengar tanggapan miring seperti itu. Karena ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak akan jadi orang hebat, sebagaimana halnya Imam Syafi’i  yang juga lama dalam kandungan.

Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir juga dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi  pada umumnya di sebuah rumah di Kampung Panreng. Kampung yang juga tempat kelahiran beberapa orang yang tergolong tokoh seperti K.H.Ahmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Kementerian (KpK)  Dalam  Negeri dan KpK Penerangan - DI/TII dibawah pimpinan  Abdul Qahhar Mudzakkar,  mantan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa-Maros  Sulsel. Juga kampung kelahiran Drs. H. Muhammad Suyuthi PaE, mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulsel, dosen senior IAIN Alauddin Makassar. Dan juga kampung kelahiran seorang mantan pejabat pusat Departemen Perhubungan, Ir. H. Andi Sulthan Said, yang menyelesikan pendidikannya di Jepang kemudian menjadi  Direktur Utama (Dirut) BKI (Badan Klasifikasi Indonesia).

Pada saat kelahirannya kampung ini masih sangat ketinggalan dari segi pembangunan fisik. Jalanan dari kampung ini menuju ibu kota kabupaten jauh dari apa yang terlihat sekarang, yang sudah beraspal dengan kendaraan sepeda motor dan kendaraan roda empat yang tidak putus-putusnya. Waktu itu orang-orang kampung yang ingin berkunjung  ke kota kabupaten umumnya berjalan kaki, paling banter menggunakan sepeda engkol atau menunggang kuda. Sehingga jarak yang begitu dekat, empat kilometer,  harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama.

Kota Sinjai yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai sendiri masih sangat jauh tertinggal dibanding kota-kota lain di Indonesia. Penerangan listriknya yang dikelola oleh MPS (maskapai perusahaan sejenis), masih redup-redup. Bahkan hingga akhir tahun enampuluhan Sinjai masih tergolong daerah yang sangat tertinggal. Dalam sebuah majalah terbitan ibu kota pernah memuat sebuah iklan yang mempromosikan salah satu jenis obat yakni salonpas, berbunyi, “Dikenal mulai dari Jakarta sampai Sinjai”. Ini menggambarkan betapa tertinggalnya Kabupaten Sinjai.

Namun bagaimanapun tertinggalnya dari segi pembangunan fisik tapi maraknya kehidupan beragama patut dibanggakan. Orang tuanya sendiri sebagai ulama di kampung itu sekaligus sebagai imam di Tingkat Distrik (kecamatan sekarang) memiliki banyak murid yang belajar padanya. Demikian pula di kota Sinjai ada dua ulama besar, K.H.Muhammad Thahir yang menjadi kadhi di Balangnipa yang dikenal dengan sebutan Kali Thahirong dan K.H. Hasan yang menjabat sebagai Kadhi Bula-Bulo yang dikenal dengan sebutan Kali Cambang. Kondisi ini sangat menolong pertumbuhan spritual Muhsin kecil. Sehingga ketertinggalan yang dialami kampungnya serta daerah Sinjai pada umumnya baginya mengandung hikmah yang besar.  Karena dengan demikian involusi moral yang terjadi di kota-kota besar tidak sempat merembes ke daerah ini. Terhambat oleh transportasi yang belum lancar, disebabkan jalanan belum licin, jembatan banyak mengalami kerusakan. Apalagi memang kendaraan waktu itu masih dapat dihitung jari. Bacaan-bacaan yang dapat merusak moral anak belum banyak dikenal masyarakat. Pemilik pesawat radio saja  masih sangat terbatas, disebabkan tingkat perekonomian masih sangat rendah.

Untuk pendidikan dasarnya dia sangat tertolong dengan adanya Sekolah Dasar yang waktu itu bernama Sekolah Rakyat didirikan di kampungnya. Di sekolah itulah dia belajar. Namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954 karena  terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta itu mengikuti sang ayah yang pindah ke Makassar. Ketika itu kondisi keamanan di Sinjai semakin mencekam.  Apalagi dengan terbunuhnya seorang anggota polisi yang ditengarai pembunuhnya adalah Zubair Kahar, komandan pemberontak yang saudara kandung Muhsin Kahar.  Ayahnya setiap saat mendapat panggilan untuk diinterogasi sehubungan dengan pembunuhan yang dihubungkan dengan anak kandungnya itu. Itu yang membuat sang ayah merasa terusik sehingga tidak betah lagi tinggal di kampung, memilih hijrah ke Makassar untuk mencari ketenangan.
Pindah Ke Makasar

Agak berat juga rasanya  meninggalkan kampung halaman yang telah membesarkannya itu. Betapapun bersahajanya kampung itu namun baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Letak desanya yang ada pada ketinggian dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Sulit terlupakan manis dan lezatnya pao apang. Ada juga penjang, jenis ikan teri benang, halus berwarna putih, munculnya hanya sekali dalam setahun. Biasanya dipanggang dengan menggunakan daun pisang sebagai pembungkus. Makannya dicampur dengan garam, cuka atau jeruk nipis dan lombok. Sedap sekali. Juga ikan teri basah yang direbus pakai asam dicampur dengan biji jampu sereng (jambu monyet) yang masih muda, teramat sedap dijadikan lauk. Juga buah yang disebut coppeng ( jamblang, jambu keling), jampu salo’ (jambu air) dan jambu biji yang semuanya mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang.

Apalagi kakeknya (ayah dari ibunya) yang dikenal dengan panggilan Emme. Nama sebenarnya adalah Puang Adang sangat rajin berkebun. Pribadinya sangat menarik. Banyak sekali buah-buahan dalam kebunnya. Orang kampung mengenalnya sebagai orang tua yang rajin berzikir. Pada waktu mencangkul atau menyabit rumput dia lakukan sambil berzikir, kedengaran bergumam dari jauh. Tidak pernah mau menjual hasil kebunnya. Kalau hasil kebunnya dicuri orang lalu ada yang melaporkan kepadanya, Puang Emme hanya ketawa sambil menjawab, "Makessinni tu ko iyatona mmalangi alena, nasaba nakko iya' malangngi, depa nattentu napujina"[4]..   Dan masih banyak lagi kenangan yang mengandung nilai nostalgik yang sangat sulit dilupakan. Juga kehidupan orang desa yang diwarnai keramahan, gotong royong dan persaudaraan yang kental yang sulit ditemukan pada kehidupan masyarakat kota.

Kini dia harus berangkat meninggalkan kampung yang telah memberinya warna hidup baik fisik maupun jiwa, menuju kota Makassar, 227 Km dari kampungnya. Sebuah kota besar yang sudah lama dikenal namanya namun belum pernah hidup didalamnya. Informasi yang sering didengarnya bahwa kehidupan perkotaan adalah cenderung kejam. Tapi dibalik itu sering pula menangkap cerita bahwa di kota besar juga kita dapat menjadi orang besar, sesuatu yang dicita-citakannya.

Memprihatinkan, memang, kehidupan yang dijalaninya pada waktu bermula tiba di Ibu Kota Propinsi Sulawesi. Apa boleh buat terpaksa harus dijalaninya. Maklum orang tua tidak punya pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Tetapi karena orang tuanya seorang ulama yang kharismatik sehingga anggota masyarakat di lingkungan yang dia tempati yang kebanyakan berasal dari kampungnya, Sinjai, sehingga sang ayah ditempatkan secara proporsional.

Di Kampung Malimongan Baru (Jalan Pong Tiku dan sekitarnya sekarang) dipercayakan mengimami sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Lailatul Qadri sambil memberi tuntunan agama di mesjid itu. Lewat kegiatan ini keperluan hidup agak teratasi namun sangat jauh dari cukup. Untung sang Ibu sangat giat mencari nafkah untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Baru anak yang tertua, Djunaid Kahar yang telah berumah tangga. Tapi belum sanggup juga membantu. Apalagi di rumah yang ditempati itu ternyata banyak juga keluarga yang nebeng. Keluarga dari kampung yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum memiliki rumah tempat tinggal. Rumah ini dijadikan tempat transit sambil mencari lowongan kerja.

Ada keluarga dekat yang bernama Haji Muhiddin, yang lebih populer dikalangan keluarga dengan panggilan Tuang Muhidding. Jabatannya lumayan tinggi sebagai Menteri Kejaksaan Negara Indonesia Timur (NIT), cukup berjasa menampung beberapa orang keluarga bekerja di Kejaksaan.

Pemandangan baru yang dia saksikan yang sangat tidak mengenakkan perasaannya di Makassar adalah seringnya ada orang yang mabuk-mabukan dengan teriakan-teriakan yang tidak sedap didengar telinga. Mereka berkumpul di satu tempat yang disebut lontang.  Ditempat itu mereka minum ballo beramai-ramai sambil makan baluta, atau ikan, ayam atau bebek yang dipanggang. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan karena persoalan sepele, karena ketersinggungan perasaan atau karena persoalan perempuan, dll. Semuanya tidak pernah disaksikan dikampungnya.
Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin Kahar meneruskan sekolahnya di kota itu. Ia diterima duduk di Kelas IV Sekolah Rakyat  No 30. Dijalaninya hingga tahun 1958. Di SR ini dia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk pelajaran menggambar. Padahal semestinya murid-murid yang berada di kota lebih unggul dibanding murid-murid  dari pedalaman karena pelajarannya lebih teratur dan lebih tinggi materinya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Murid-murid yang lahir dan besar di kota dikalahkannya semua. Dia pernah mengangkat nama sekolahnya karena ketika diadakan pertandingan menggambar antar sekolah dasar se Kota Besar Makassar (KBM), hasil coretannya dinilai terbaik. Dia juga sering di tugaskan oleh gurunya menyalin pelajaran di papan tulis karena tulisannya sangat bagus.
Ketika mengikuti ujian akhir Sekolah Rakyat dia mendapatkan nilai tertinggi. Sehingga sangat memungkinkan memilih sekolah favorit. Dia tidak memilih sekolah umum tapi mengincer sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 tahun).  Dia memilih sekolah ini untuk melanjutkan pendidikannya karena disamping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang sangat didambakan waktu itu. Karena tamatan sekolah ini tidak perlu lagi melamar kerja, langsung ditempatkan. Sekolah ini satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di kawasan Indonesia Timur.

Satu kebanggaan tersendiri kalau dapat lolos masuk ke sekolah ini karena yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi dan lulus test dilengkapi surat keterangan dokter. Disektor lain  sangat menguntungkan terutama bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi pembiayaan seperti dia.  Karena siswa-siswa di sekolah ini setiap bulannya menerima tunjangan ikatan dinas (siswa-siswa menyingkatkannya dengan sebutan ID). Dia sangat senang karena dengan diterimanya di sekolah ini, sedikit dapat meringankan beban orang tua untuk pembiayaan sekolah.

Di sekolah ini dia juga selalu menjadi bintang kelas dan terkenal sebagai siswa yang pandai pidato. Disamping itu dia juga selalu menjadi ketua kelas hingga kelas VI. Dalam pertemuan-pertemuan selalu dia dipercayakan memimpin.  Memang sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun itu dia sudah dikenal sebagai siswa yang berpengetahuan luas. Mungkin karena kerajinannnya membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan memang hampir tidak ada yang tersisa, semua dibelikan buku-buku. Tidak seperti teman-temannya  yang menjadi prioritas  adalah pakaian untuk penampilan. Maklum di sekolah itu bercampur antara cowok dengan cewek.

Ceweknya rata-rata cantik-cantik dan manis-manis. Muhsin Kahar sangat kurang perhatiannya kepada pakaian. Sehingga sering dia dengan tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci dan belum sempat kering. Dia juga akrab dengan kopiah hitam di kepalanya. Teman-temannya sering ketawa sinis melihatnya, karena tidak lazim, tapi dia cuek saja termasuk terhadap cewek-cewek manis. Karena tidak ada juga teman wanitanya yang akrab. Dia tidak pusing dengan kesinisan teman-temannya. Soalnya gurunya diam-diam saja menyaksikan keanehan itu. Mungkin karena dia termasuk siswa yang sangat berprestasi dari segi pelajaran dan sektor-sektor lain. Lagi pula peraturan tentang pakaian waktu itu belum seketat sekarang.

Hal lain yang menyenangkan dia belajar di sekolah ini karena dapat berkenalan dengan siswa-siswa yang berasal dari beberapa daerah seperti Ternate, Manado, Gorontalo, Sangir Talaud, Sulawesi Tenggara dan siswa-siswa yang berasal dari Sulawesi Selatan sendiri.

Meninggalkan Bangku Kuliah

Lulus dari sekolah lanjutan PGA Neg. 6 tahun juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar[9] ke IAIN[10](Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya satu tahun mengikuti kuliah lalu berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan. Walaupun pada waktu itu titel sarjana sangat mahal, bisa membuat orang besar kepala. Menurut dia lebih tepat kalau aktif di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca. Itulah yang menjadi alasannya sehingga meninggalkan bangku kuliah.

Ketika dia telah menjadi pimpinan pesantren yang telah memiliki cabang di seluruh Indonesia, sering dia mengungkapkan bahwa, “Seandainya saya dulu meneruskan kuliah sampai sarjana, paling banter hanya menjadi kepala kantor Departemen Agama di Sulawesi Selatan, iutpun kalau memenangkan pertarungan, bergelut dengan urusan yang bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana yang sering diungkapkan rekan-rekan bekas teman sekolahnya yang menduduki jabatan itu.

Terusik juga perasaannya kalau teman-teman sekuliahnya menganggap dia sombong tidak mau mengikuti kuliah karena telah mengetahui apa yang dikuliahkan oleh dosen-dosen. Tapi karena dia memiliki pandangan sendiri terhadap dunia perkuliahan yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu berbincang ngalor ngidul antara teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, bahkan terkadang mengarah kepada hal-hal yang sebenarnya sangat tidak wajar dibicarakan. Apalagi sebagai mahasiswa-mahasiswi yang menyandang predikat mahasiswa-mahasiswi Islam.  Sehingga dia berfkir untuk amannya dia memilih berhenti dari kegiatan kuliah dari pada setiap hari menderita batin.

Dia merasakan apa yang diperolehnya selama ini lewat organisasi, membaca buku-buku, mengikuti ceramah-ceramah di mesjid dan belajar langsung kepada ulama-ulama serta berkutat dalam dunia da’wah, lebih banyak dari apa yang diperoleh lewat bangku kuliah. Apalagi kalau dosennya hanya menggunakan gaya diktator alias membuat dan menjual diktat.
Baca selengkapnya »
 

Template Information

Contact Us

Kotak Pesan

Random Post

husnah

statistics

visitor

Followers

Copyright © Hidayatullah Medan All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv