DEPAN

DEPAN
Photobucket

Berbuat Adil

Sabtu, 13 Februari 2010
0 komentar



  Oleh: Ustd. Abdurrahman Muhammad
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa…” (Al-Maidah)(5)8)
Sekalipun tidak ada tuntunan dari Rasulullah Shalalallahu ‘alaihi wa salam  (SAW), tapi hampir semua khatib selalu menutup khutbah Jumatnyaa dengan menyitir surah An-Nahl (16):90. Ayat ini memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan.
Tradisi mengutip ayat tersebut, dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis yang menghendaki agar perlakuan tidak adil kepada Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu (RA) dan keluarganya segera dihentikan. Dalam pandangan Umar bin Abdul Azis, Ali adalah sahabat utama Rasulullah SAW yang sepatutnya mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang istimewa. Bukan sebaliknya, dihujat, difitnah, dan dilecehkan.

Fitnah terhadap Ali dan para pendukungnya sudah diluar batas kewajaran. Caci maki dan fitnah terhadap keluarga Ali tidak saja dilakukan di wilayah privat, tapi juga ditempat-tempat umum, bahkan di masjid-masjid. Tak sedikit di antara para Khatib yang memanfaatkan mimbar  Jumat sebagai ajang caci maki terhadap Ali dan keluarganya. Padahal, semua orang tahu bahwa Ali adalah orang pertama dari kelompok anak muda yang masuk Islam. Ia kelurga dekat, juga menantu kesayangan Rasulullah SAW. Ali mengikuti hampir semua peperangan menghadapi kaum kafir. Ia sahabat utama yang cerdas sekaligus pemberani. Bahkan ia tergolong sepuluh sahabat yang di jamin masuk surga oleh RAsulullah SAW.

Politik seringkali kejam dan tak berkeprimanusiaan. Fitnah, caci maki, dan pembunuhan karakter kepada orang-orang yang dianggap lawan politiknya dianggap biasa dan lumrah, walaupun lawan politik itu adalah saudara sesama Muslim, atau bahkan saudara kandung. Para pendukung partai pollitik sering “gelap mata”, menganggap apa saja yang datang dari lawan politiknya adalah salah. Sebaliknya, apa yang datang dari partai politiknya adalah benar semua.

Ialam tidak melarang kaum Muslimin  untuk berpolitik, bahkan Islam dan politik seharusnya tidak boleh dipisahkan. Tetapi, hal prinsip yang harus dipegang kuat-kuat bahwa politik yang dijalankan kaum Muslimin adalah politik yang mengedepankan keadilan, dan memihak kepada kebenaran.

Dalam pandangan Islam, keadilan bukan sekedar seruan atau perintah agama. Keadilan adalah sebuah fitrah. Barang siapa yang mencoba-coba berbuat tidak adil, mereka akan merasakan akibatnya, baik secara langsung maupuin tidak langsung. Baik yang bersifat jasadiyah maupun ruhiyah.

Politik Islam hendaknya dapat memperjuangkan dan menegakkan suatu sistem kemanusiaan yang adil, yang menjamin semua pihak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. Sebuah sistem yang menjamin rakyat kecil mendapatkan haknya tanpa rasa takut dari intimidasi dan tekanan para penguasa. Sebuah sistem yang menjamin keadilan distribusi kekayaan dan aset negara. Itulah misi yang diemban para Rasul.

Al-Qur’an mencatat beberapa penguasa yang mengabaikan dan melawan keadilan, satu diantaranya adalah Fir’aun. Terhadap perilaku Fir’aun yang mengabaikan nilai-nilai tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) mendatangkan seorang Rasul yang bertugas untuk mengingatkannya. Ia adalah Nabi Musa Alaihisallam (AS), yang tak lain adalah anak asuhnya sendiri. Ketika peringatan tak lagi dapat menembus kesadarannya, Allah SWT mendatangkan bencana dan menistakannya selama-lamanya.

“Barangsipa yang menguasai umat dari umatku, sedikit atau banyak lalu ia tidak berlaku adil terhadap mereka, maka Allah akan menjerumuskan mukanya ke dalam neraka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bishawab.
Baca selengkapnya »

Jati Diri Mujahid Dakwah

0 komentar



Oleh: Dr. Abdul Mannan
 Jati diri seorang mujahid dakwah secara global terlukis dalam manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW). Seseorang yang telah mendeklarasikan syahadat, pasti menggelora dalam dirinya keinginan untuk meneriakkan bahwa penguasa tungggal di alam ini hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala (SWT).
Konsekuensi dari syahadat ini ada niat untuk membangun peradaban Islam. Pedomannya bertolak dari ajaran wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).

Definisi peradaban Islam sendiri adalah manifestasi keyakinan (iman) terhadap semua sektor kehidupan. Dus, peradaban Islam yang dibangun berfondasikan rukun iman dan rukun Islam.

Pertanyaannya adalah bagaimana membentuk manusia yang berjati diri? Menengok sejarah pengaderan Darul Arqam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Makkah, output (keluaran) pendidikan madrasah adalah menjadikan para kader sebagai pemimpin.
Rasulullah SAW sebagai instruktur tunggal di madrasah Darul Arqam ini senantiasa menyuntikan ajaran tauhid. Peserta didik diajak memahami bahwa Allah SWT adalah sumber cipta dan ilmu (ilmullah).

Setelah mendalami ilmullah akan lahir semangat baru untuk berjuang menegakkan kehidupan yang sistematik. Berjuang tidal dalam satu sektor saja, seperti pendidikan saja, berdagang saja, atau berpolitik praktis saja, namun juga membangun sistem hidup dan kehidupan. Inilah peradaban Islam.

Adakah lembaga pendidikan dewasa ini yang dapat melahirkan sosok manusia seperti itu? Jawabannya, mungkin ada. Mengapa mungkin? Sebab, kita belum tahu dimana lembaga tersebut berada. Apalagi hal ini terkait beberapa aspek, yaitu SIAPA (instruktur) mendidik SIAPA (peserta didik) dan untuk APA (tujuan pendididkan).

Bila kita simak, kurikulum pendidikan Darul Arqam sebelum hijrah hingga hijrah ke Madinah adalah nuzulnya wahyu al-Qur’an. Allah SWT langsung mendidik  Muhammad SAW yang kemudian ditransfer kepada murid-muridnya.

Doktrin rukun iman dan rukun Islam menjadi landasan epistemologi agar manusia mengenal sumber ilmu yang hakiki, yaitu Allah SWT, bukan bersumber dari manusia.

Ajaran tentang epistemologi ini terlukis dalam wahyu pertama, yakni surah Al-‘Alaq.
Bagaimana memodifikasi doktrin rukun iman dan rukun Islam dalam semua materi pelajaran yang disampaikan pada peserta didik? Banyak pakar pendidikan mengatakan, perlu proses pertauhidan ilmu pengetahuan.

Ormas Hidayatullah sedang berproses menuju kearah ini. Hasilnya memang tidak persis sepeti apa yang dicapai oleh Rasulullah SAW dengan alumnus Darul Arqam-nya. Namun, substansi pendidikan diupayakan menyerupai itu, yakni apa yang disebut pendidikan integral, meliputi ilmiah, diniah, dan alamiah.

Salah satu indikator alumnus pendidikan integral Hidayatullah adalah sikap mental yang siap ditugaskan ke mana dan kapan saja. Wakil Presiden Republik Indonesia. Jusuf Kalla, saat pembukaan rapat kerja Nasional Hidayatullah IV di Batam, 2 Desember 2008 lalu, mengatakan santri Hidayatullah bagaikan Kompassus dalam berdakwah. Mereka hanya berbekal ransel dan uang secukupnya untuk satu atau dua hari, sudah bisa hidup ditengah masyarakat.

Kunci sukses pendidikan dangan alumnus seperti ini bertumpu pada dua aspek. Pertama, aspek pembangunan intelektual, yakni melalui jalur klasikal. Kedua, aspek pembangunan jati diri lewat qiyamul lail (shalat malam), tartilul Qur’an (membaca Qur’an dengan tartil), dan kontinyuitas zikir.

Metode seperti ini, selain melairkan kader yang bagaikan “kompassus”, juga melahirkan kader yang sabar, tawakkal, dan mau berhijrah, Insya Allah.
Baca selengkapnya »

"Kader Jangan Cengeng"

0 komentar




Oleh : Ustadz Utsman:
Bagi seorang kader, dalam menjalani hidup ini tak ada kata menyerah, pesimis, apalagi sampai putus asa. Kehidupan untuk di jalani, bukan untuk disesali. Maka, optimislah dan berkerjalah sebaik-baiknya untuk diri dan ummat. Insya Allah, keberkahan hidup akan kita rasakan.

Demikianlah salah satu petikan petuah yang disampaikan salah satu penggerak awal Hidayatullah Ustadz H. Utsman Palese, saat melepas romobongan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIE Hidayatullah) semester 9 dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke Kota Bogor.

"Kader tidak boleh cengeng. Kalau masih ditugaskan di wilayah Jawa Barat ini belum seberapa. Kader harus semangat menyambut tantangan seperti ini" kata Kyai Ustman di depan puluhan jama'ah di Masjidl Ummul Quro, Komplek Kampus Pendidikan Hidayatullah Depok Jawa Barat, Sabtu, 31 Oktober 2009, kemarin.

Malah, tegas dia, untuk melihat militansi seorang kader, harusnya kader itu dilepas bebas ke hutan belantara selama sebulan. "Dilepas tanpa bekal. Cari makan sendiri di hutan dan berdakwah disana, Insya Allah pertolongan Allah pasti ada, yakini ini" katanya semangat.

Kyai Utsman menambahkan, jumlah yang banyak bukanlah jaminan kemenangan dapat di raih. Ia mencontohkan, pada saat perang Badar berkecamuk, ummat Islam pada saat itu jumlahnya sangat sedikit. Namun, karena kedekatan mereka kepada Allah SWT dan ketergantungan mereka hanya pada-Nya, maka ummat Islam dapat meraih kemenangan gilang gemilang.

"Jadi, kader itu tidak boleh mengatakan tidak ada apa-apa di tempatnya bertugas, tapi harus optimis dan selalu mengatakan ada apa-apa, ada kebahagiaan, ada tempat mukim, ada yang bisa di makan, ada pertolongan Allah, Insya Allah," tandas pria enerjik jebolan Angkatan Kader Muballigh Muhammadiyah ini.

Sebagaimana termaktub dalam agenda akademik STIE Hidayatullah, mahasiswa semester 9 pada awal November 2009 ini akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama satu bulan. Wilayah yang akan disambangi kali ini adalah Kecamatan Sukaharjo Kota Bogor.

Rencanannya, siang hari nanti pukul 13:00 selepas sholat Dhuhur akan dilkakukan seremoni penyambutan mahasiswa yang akan melakukan praktek kerja lapangan ini oleh aparat desa dan warga setempat.

"Alhamdulillah, Ini merupakan apresiasi dan inisiatif dari bapak Kepala Desa dan warga di wilayah Sukaharjo," ujar Soesilo Gunawan, SE, Kepala Bagian Kemahasiswaan STIE Hidayatullah, saat dimintai keterangannya.


Baca selengkapnya »

Konsisten Dalam Berjuang

0 komentar




Oleh: Dr. Abdul Mannan
 Misi Mujahid dakwah adalah amar ma’ruf nahyi munkar, menegakkan kebenaran dan menghindari kemungkaran, di mana pun berada dan bagaimanapun keadaannya. Menyuruh berbuat baik jelas tidak ringan, apalagi mencegah berbuat munkar, jauh lebih berat lagi. Konsistensi dan teladan seorang mujahid dakwah jelas dituntut, baik di rumah tangganya sendiri, di tengah masyarakat, di hadapan penguasa Negara, dan di teratak pertarungan ideology. Dahsyat memang! Tapi semua itu harus ia jalankan demi memperoleh ridha dari Sang Penguasa Langit dan Bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).

Kata seorang sufi kepada anak didiknya, “Engkau lebih baik di benci oleh semua makhluk di alam semesta dari pada di benci Allah SWT. Bagitu pula engkau lebih mulia di cintai Allah SWT dari pada di cintai makhlluk yang durhaka.
Pekerjaan dakwah akan diridhai Allah SWT jika didasarkan atas niat karena Allah SWT. Mulai dari memungut sampah di teppi jalan, hingga menegakkan Khilafah Islamiyah. Semua itu dakwah. Itulah peradaban Islam.
Jika dakwah didasari atas dimensi peradaban Islam seperti itu akan mudahlah mencerna ajaran-Nya. Bukan gontok-gontokkan  antara umat  Islam sendiri. Gontok-gontokkan sesame Muslim bukanlah perangai Islami. Justru akan mencoreng nama baik ajaran Ialam yang mulia.
Dulu, Islam dipentaskan oleh pelaku peradaban Islam angkatan pertama, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa SAllah (SAW) bersama para sahabatnya, dengan perilaku yang berdab berkat sentuhan iman. Kini, keberadan umat Islam marginal dan semua aspek.
Mengapa marginal? Ini terjadi karena umat Islam yang indah dan mempesona. Lunak dalam penampilan, tegar dalam pendirian. Sayangnya, semua itu sudah pudar dari diri umat Islam. Terjadi banya faksi dalam tubuh kaum Muslim sebagai konsekuensi pudarnya keyakinan.
Sudah waktunya umat Islam bangkit. Dari mana memulainya dan apa patokannya? Jika patokannya dimulai sejak wafatnya rasulullah SAW, lantas di beri nama apa peradaban terseut? Bukankah peradaban itu dibangin atas dasar ide yang turun dari langit? Bukankah semua pakar peradaban, baik yag bertolak dari pemikiran religi hinggga sekuler, sepakat bahwa peradaban itu di bangun dari ajaran agama?
Dalam hal ini, Hidayatullah telah menetapkan bahwa membangun peradaban Islam dimulai sejak turunya wahyu pertam (al-Alaq). Al- Alaq mengandung metodologi ajaran “kesadaran” akan ber-tuhan dengan benar dan menyadarkan bahwa diri manusia itu penuh limitasi. Oleh karena itulah peradaban Islam dibangun atas dasar ajaran tauhid yang terus menurunkan segala aspek aturan hidup dan kehidupan.
Metode kesadaran yang dieksplorasi dari wahyu pertama ini melahirkan manusia ulung dan agung sepanjang sejarah keumatan. Para sahabat sebagai inner circle mendapat predikat ‘asyaratul kiram (sepuluh sahabat mulia) yang dijamin masuk surga tanpa hisab setelah itu empat puluh sahabat yang lain, dan seratus lima belas sahabat yang lain lagi.
Kader inti Rasulullah Saw tersebut merangkai kekuatan antara Mujahidin (dari Makkah) dan Anshar (penduduk madinah) untuk menjadi satu kekuatan di bawah komando Rasulullah Saw. Kekuatan ini terbukti mampu membebaskan Makkah dari kesyirikan.
Kekuatan ini muncul dari kajian wahyu yang pertama yang refleksinya memancar pada kekuatan spiritual yang di bangun melalui qiyamul lail, tartitul Qur’an, dan dzikir yang kontinyu. Tiga sarana pemberdayaan spiritual ini melahirkan jiwa yang sabar (konsisten) dalam berjuang, hijrah, dan tawakal.
Baca selengkapnya »

Dakwah Hidayatullah

0 komentar




Oleh: Ustd. Abdurrahman Muhammad
Abdurrahman Muhammad"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat    petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang disesatkan-Nya    dan sekali-kali mereka tidak mempunyai penolong." (An-Nahl 37).
Para ahli tafsir sepakat bahwa yang dituju ayat di atas adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam (SAW). Beliau, menurut ayat di atas menyimpan keinginan keras dan hasrat yang kuat agar umatnya hidup dalam naungan hidayah Allah Shubhanahu wa Ta'ala (SWT). Beliau sangat merindukan kehidupan yang damai, semua yang ada di muka bumi tunduk patuh dan taat pada aturan dan kehendak Ilahi.

Sama halnya dengan Nabi SAW, para dai, dan mujahid Islam juga memendam keinginan yang sama. Mereka berkeinginan agar kaum Muslimin saat ini dapat menjalankan syariat agamanya dengan baik, tanpa gangguan dan rintangan. Mereka juga berhasrat kuat agar kekuasaan yang ada di muka bumi menjadi instrumen ilahiyah untuk menjalankan perintah dan larangan-Nya.

Inilah kerja para dai, muballigh, dan guru agama. Mereka bahagia jika manusia menjalankan perintah agama dengan baik. Sebaliknya, bersedih jika melihat manusia menentang agama, melanggar syariah-Nya. Siang malam mereka bekeija dan berdoa agar Islam dapat menyebar sebagai rahmat kepada seluruh alam.

Paradai yang bekerja keras menyebarkan ajaran Islam tanpa digaji pemerintah ini pantang menyerah menghadapi medan sang berat. Hanya dengan bekal keikhlasan dalam beramal, mereka menelusuri jalan dakwah dengan semangat    berapi-api. Dalam jiwanya ada gumpalan kehendak untuk menyebarkan hidayah Islam kepada segenap  manusia. Tidak ada yang bisa mengerem, apalagi menyetop sama sekali.

Sesekali para dai dan mujahid dakwak itu boleh marah bercampur kecewa setelah melihat ada persekongkolan jahat untuk menggagalkan gerakan dakwah. Sesekali mereka boleh hampir putus asa ketika mengetahui para penguasa, para pengambil kebijakan, dan para tokoh yang dipercayainya justru menjalin kerjasama jahat untuk memecundangi Islam.

Perasaan yang sama sesungguhnya telah dialami oleh para nabi dan rasul. Bahkan, dalam al-Qur`an banyak didapati keterangan tentang kesedihan dan kemarahan Rasulullah SAW.  "Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman."(Asy-Syu'araa 3).

Tentu saja, ledakan kemarahan dan kesedihan itu tidak boleh ditumpahkan dalam bentuk aksi yang merusak dan perbuatan yang mengancam keselamatan orang banyak. Kita boleh marah dan bersedih hati, bahkan hampir putus asa, tapi kita wajib tetap bias mengendalikan diri.

Bahkan kalau bisa, hilangkan perasaan marah, sedih hati, atau kecewa. Tanamkan dalam diri sendiri bahwa pemilik agama Islam itu adalah Allah SWT. Dia berkuasa untuk menjaganya, bahkan tanpa bantuan siapa pun juga. Tugas kita hanya berdakwah, menyampaikan kebenaran kepada manusia.    Selebihnya, hasilnya serahkan kepada Allah SWT.

Jangan bersedih atas ulah dan perbuatan mereka. Allah berfirman, “Maka janganlah kamu bersedih terhadap orang-orang kafir itu." (Al-Maaidah :68).

Sebagai dai dan mujahid kita tidak boleh larut dan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kepatus asaan. Kita harus sadar bahwa langkah perjuangan kita bukan hanya hari ini dan untuk hari ini. Dakwah itu untuk Jangka panjang. Jika hari ini     belum berhasil, biarlah anak cucu kita yang melanjutkan. Itulah ladang dakwah dan perjuangan mereka.

Hidayatullah sebagai wadah bergabungnya para dai menyadari sepenuhnya hal tersebut. Untuk itu, sejak awal Hidayatullah menegaskan dakwahnya dengan mengikuti manhaj nabawi, suatu metode   berdakwah yang mengikuti cara-cara nabi, yang sistematis, berjenjang, bertahap, dan berkelanjutan.
Baca selengkapnya »

Jadilah Visioner Religius

0 komentar



Oleh: Dr. Abdul Mannan
Setiap orang punya beban. Beban itu berbeda-beda, tergantung seperti apa visi dan misi hidupnya. Visi dan misi hidup ini pula yang menentukan seperti apa seseorang menyikapi beban yang terpikul di pundaknya. Jika visi dan misi itu jelas maka beban yang berat terasa tak akan ada masalah.
Andai kita tanya kepada seseorang apa alasan ia memilih visi dan misi tertentu dalam hidupnya, sangat jarang kita temukan alasan yang bersifat fundamental, yang ingin mengubah hidup manusia sejagat. Meski ia tahu keinginan ini tak akan tercapai seutuhnya, minimal ia berusaha mengubah lingkungan di mana ia berada. Itulah visi dan misi seorang pemimpin.
Pertanyaannya, apakah sekarang ini masih ada pemimpin yang berorientasi menyelamatkan manusia sejagat? Jika ada, konsep apa yang akan ia pakai?
Saat ini umat manusia tengah menghadapi kesesatan yang berkepanjangan. Salah satu indikatornya adalah kesenjangan ekonomi yang luar biasa di masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin. Masyarakat tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terbangunnya jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin itu suatu penyebab? Jelas bukan! Jurang itu adalah dampak, akibat, bukan sebab! Penyebab utamanya adalah sikap manusia yang telah meninggalkan Sang Pemilik Alam Semesta, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT).
Ketika manusia meninggalkan Sang Pencipta, maka berarti ia sudah tergoda untuk mencari landasan hidup yang tidak diajarkan oleh Allah SWT. Itulah landasan hidup yang dikarang oleh manusia sesuai dengan keinginannya. Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan kesesatan, kezaliman, dan mengikuti hawa nafsu.
Padahal, manusia punya keterbatasan berpikir, sementara Allah SWT maha luas pengetahuan-Nya. Manalah mungkin buatan manusia bisa mengalahkan buatan Sang Pencipta.
Sejarah telah mencatat hal ini. Perilaku penguasa yang berorientasi dunia berakhir dengan kehinaan. Namrud dan Fir'aun adalah contohnya. Begitu juga Hitler, Stalin, dan Musolini.
Anehnya, kezaliman sebagaimana dipertontonkan para penguasa itu tetap diikuti pula oleh para penguasa dunia sekarang ini. Yang paling tragis, kezaliman itu dipertontonkan oleh mereka yang justru kerap mengampanyekan hak asasi manusia (HAM).
Lihatlah penindasan yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya atas Irak dan Afghanistan. Begitu juga kesadisan Israel mengganyang Palestina. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai polisi dunia tak berdaya menghadapi mereka.
Rupanya mereka mengamini apa yang diungkap pemikir Barat, Samuel Huntington, bahwa kaum Muslim dengan keimanannya adalah musuh paling berbahaya setelah komunis ambruk. Islam dianggap ideologi berbahaya yang harus segera dijauhkan dari kaum Muslim.
Lalu, apakah ada seorang visioner yang mau memikirkan perdamaian abadi di dunia ini? Pasti masih ada, entah di mana keberadaannya. Alasannya, Allah SWT pasti tidak pasif mengambil tindakan penyelamatan dunia. Dialah yang berkehendak atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan alam semesta in Apakah dunia ini dilestarikan atau dihancurkan, Dialah yang memiliki hak prerogatif.
Seorang visioner yang berniat menciptakan perdamaian dunia hanya bisa bergantung kepada pertolongan Allah SWT. Hanya melalui hidayah-Nya, seorang visioner akan mampu mengekspresikan munajatnya.
Dunia saat ini mengharapkan hadirnya seorang visioner religius yang seluruh urat nadinya teraliri ilham ilahiyah sesuai kehendak Allah SWT. Seorang visioner yang mampu menghentikan kezaliman manusia, mengubahnya dengan tatanan dunia yang terampuni.
Mari; memasuki tahun 2010 ini, kita niatkan dalam hati kita untuk ambil bagian dalam tugas mulia tersebut. Wallahu a'lam.
Baca selengkapnya »

Multikrisis dan Revolusi

0 komentar



Oleh: Dr. Abdul Mannan
Hukum ekonomi konvensional mengatakan, harga ditentukan oleh seberapa besar  penawaran (supply) dan seberapa banyak permintaan (demand). Fakta yang terjadi, hukum ini tak selamanya benar. Pada profesi guru, misalnya. Meskipun akhir-akhir ini semakin banyak orang yang berminat pada profesi tersebut, tidak lantas menyebabkan gaji mereka menjadi naik. Begitu juga sebaliknya.
Tidak konsistennya hukum ekonomi konvensional menyebabkan terjadinya pemaksaan keinginan. Lama kelamaan muncullah gelombang ketidakpercayaan. Ini bisa kita buktikan pada fenomena pengangguran dewasa ini. Meski perguruan tinggi sudah berhasil mencetak banyak tenaga ahli, namuri faktanya masih banyak sarjana yang menganggur. Ini karena lapangan pekerjaan tidak tersedia. Pemerintah dan swasta sebagai penyelenggara pendidikan rupanya tidak menghitung daya tampung pasar tenaga kerja. Angka pengangguran pun meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah pengangguran meningkat secara otomatis menambah jumlah angka kemiskinan. Jika angka kemiskinan meningkat maka jumlah kriminalitas bertambah. Angka kriminalitas yang membludak akan menimbulkan revolusi sosial. Status quo terancam. Jika sudah seperti ini, pemerintah tak akan segan-segan melakukan tindakan represif.
Hebatnya lagi, tindakan represif tak hanya dilakukan penguasa atas rakyatnya, tapi juga antar negara. Kita sering menyaksikan bagaimana negara-negara maju menindas negara-negara sedang berkembang atau tertinggal. Model ekonomi konvensional yang berkarakter ribawi terbukti tidak mampu mengentaskan kemiskinan, bahkan sampai kiamat tiba. Model ekonomi konvensional, baik sosialis maupun kapitalis (pasar), justru meningkatkan kemiskinan struktural. Sistem ekonomi sosialis sangat dikendalikan oleh negara, sehingga lahirlah ketidakadilan. Sistem ekonomi kapitalis sangat mengedepankan individu (swasta), akibatnya melahirkan ketimpangan.
Itu berarti teori ekonomi konvensional telah gagal mewujudkan cita-cita luhurnya menyejahterakan masyarakat. Di sisi lain, teori ekonomi konvensional hanya mampu menyejahteraan sebagian masyarakat dari sisi materi, tetapi tidak dari sisi ruhani (spiritual). Anehnya, sudah jelas gagal dan banyak kekurangannya, mengapa kita masih menerapkan sistem ekonomi konvensional? Sebaliknya; model ekonomi syariah yang sudah terbukti mampu mengentaskan kaum mustadh afin pada masa lalu, kita abaikan.
Lihatlah, para ahli ekonomi konvensional tak sepakat dalam menyimpulkan apa sesungguhnya penyebab terjadinya krisis ekonomi dunia saat ini. Glick (1998) mengatakan, terjadinya krisis disebabkan liberalisasi keuangan. Krugman (1998) menyatakan, terjadinya krisis dunia karena tingginya spekulasi harga aset. Comdessus (2000) berpendapat, terjadinya krisis dunia karena regulasi dan supervisi yang tidak tepat. Semua analisis itu mengacu pada sisi keduniawian. Jika seperti ini, mereka akan berputar di situ-situ saja, ibarat lingkaran setan yang tak berujung. Lingkaran setan itu akan melahirkan konflik yang  berkepanjangan. Akhir dari konflik sudah bisa ditebak, apalagi kalau bukan ketidakadilan, penindasan, dan penjajahan.
Bagi manusia yang memiliki ideologi penegakan kebenaran pasti akan melawan ketidakadilan tersebut, menggantinya dengan peradaban mulia yang mewujud dalam hidup bersyariah di bawah naungan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itulah peradaban Islam. Dari sini akan lahir gelombang revolusi berpikir dan aksi melawan segala bentuk penindasan. Wallahu a'lam.
Baca selengkapnya »

Sikap Mental Pemenang

0 komentar



Oleh : Ustadz Abdurrahman Muhammad
"Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Ad-Zikr (Lauh Mahfuz). Bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (A1-Anbiyaa [21]: 105)

Sebagai aktivis dakwah yang berjiwa besar, sejak awal telah menyadari, dan meyakini bahwa kepemimpinan dunia ini diperuntukkan bagi hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) yang beriman dan beramal saleh. Ayat di atas mempertegas keyakinan tersebut, sehingga setiap aktivis dakwah tidak boleh ragu sedikit pun bahwa kepemimpinan dunia di masa depan adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Keyakinan tentang kepemimpinan dunia oleh Islam itu bertambah kuat ketika kita membaca Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam (SAW) yang berkenaan dengan hal tersebut. Salah satu di antaranya sabda beliau ketika kaum Muslimin masih dalam keadaan minoritas.
"Ya Rasulullah, tidakkah engkau berkenan memohon kepada Allah kiranya kita dimenangkan atas kaum kafir?" keluh Khabbab bin Al-Arts RA ketika tak kuat lagi menghadapi siksaan kaum Quraisy. "Wahai Khabbab," kata Rasulullah, "dahulu orang-orang sebelum kalian ada yang tubuhnya dikubur kecuali kepalanya, lalu diambilkan gergaji urituk menggergaji kepalanya, tetapj itu tidak sedildt pun memalingkan dari agama Allah. Ada yang disiksa antara daging dan tulang-tulangnya. Itu pun tidak menggoyahkan keimanannya. Demi Allah, wahai Khabbab, Dia (Allah) akan menyempurnakan urusan (kemenangan agama ini), sehingga orang yang dari Shan'a (Yaman Utara) ke Hadramaut (Yaman Selatan) tidak akan merasa takut lagi kecuali kepada Allah, walau srigala ada di antara hewan-hewan gembalaannya. Tapi nampaknya kalian'tergesa-gesa."
Tidak hanya sekali itu saja beliau menempa mental pemenang kepada para sahabat. Justru pada saat kritis beliau lakukan hal tersebut. Ketika itu, beliau diminta oleh para sahabat untuk memecahkan batu yang sangat keras, yang tidak mampu mereka pecahkan. Saat menghantam martil pertama kali, batu itu memercikkan kilatan api, beliau bersabda; "Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci negeri Syan Demi Allah, aku melihat istana-istananya yang berwarna merah di sana."
Ketika menghantamkan martil kedua kalinya batu itu pun memercikkan kilatan api, beliau bersabda, "Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci negeri Persia. Demi Allah, aku melihat istana Madai yang berwarna putih."
Waktu menghantamkan martil ketiga kalinya batu itu pun memercikkan kilatan api sebelum hancur berkeping-keping. Beliau bersabda, "Allahu Akbar aku diberi kunci-kunci negeri Yaman. Demi Allah, ak u bisa melihat pintu-pintu gerbang istana Shan'a."
Ayat dan dua Hadits di atas, serta realitas politik global saat ini semakin memperkuat keyakinan kita bahwa kepemimpinan dunia di masa depan tak akan bertahan di Barat dan tak akan beralih ke Timur melainkan kepada dunia Islam. Keyakinan itu sesuai dengan sunnatullah.
"...dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membeda kan orang-orang yang beriman (dengan orang-or ang  kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada' dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (Al Imran [3]:140)
Keyakinan itu tak sekadar berhenti menjadi keya kinan pasif, yang tidak melahirkan idealisme, semangat dan motivasi. Keyakinan pasif hanya melahirkan orang-orang yang diam dan menunggu.
Keyakinan ini diharapkan mampu melahirkan dorongan, ghirrah, dan motivasi yang tinggi. Dari sinilah diharapkan lahirnya rencana dan aksi nyata Dengan demikian, mimpi tentang kepemimpinan Islam pelan-pelan mewujud menjadi sebuah realita. Disini kita mulai diuji kesabaran, keteguhan, keikhlasan, dan keistiqamahan.
Baca selengkapnya »

Agen Intelijen Aktif Kumpulkan Informasi Melalui Facebook

0 komentar
Mengumpulkan informasi adalah pekerjaan utama dinas intelijen. Salah satu yang paling gampang adalah melalui informasi via Facebook

Hidayatullah.com--Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sangat populer. Tak hanya masyarakat umum, bahkan termasuk kalangan dinas rahasia. Melalui jejaring seperti itu, mereka bisa mengetahui lebih banyak tentang orang-orang yang sedang diamati.

Mereka menggunakan surel palsu dan stick USB yang sudah dijangkiti spyware. Dinas rahasia Belanda AIVD memulai kampanye penyuluhan mengenai bahaya spionase digital ini.

Peringatan Dinas Rahasia Belanda AIVD mengenai bahaya spionase, bukan hal baru. Tahun 2009, hal itu juga sudah menjadi tema utama dalam laporan tahunan AIVD. Yang baru adalah peringatan khusus mengenai spionase digital. Tidak ditujukan pada para profesional ICT atau masyarakat umum, tapi pada mereka yang memiliki informasi rahasia. Misalnya para pejabat negeri tertentu atau pengusaha perorangan di sektor-sektor yang dianggap 'peka'. Menurut AIVD, mereka harus lebih sadar akan bahaya yang mengintai.

Sebagai contoh, AIVD menyebutkan stick USB yang dibagi-bagikan dalam kongres di luar negeri. Sekilas, hal itu tampaknya tidak bermasalah, tapi dalam penelitian lebih jauh ternyata ada spyware di dalam stick USB itu. Tanpa sepengetahuan pengguna, mereka bisa meneruskan informasi politik atau ekonomi ke dinas rahasia asing.

Menurut Wil van Gemert, Direktur Keamanan Dalam Negeri AIVD, surel juga sering digunakan sebagai tujuan spionase.

"Contohnya, Anda bisa saja menerima surel dengan lampiran yang tampaknya biasa-biasa saja karena Anda anggota sebuah kelompok feed tertentu. Namun dalam lampiran itu terdapat Trojan Horse di komputer Anda," ujarnya.

Selain itu, menurut pihak AIVD, jejaring sosial populer juga menarik bagi dinas rahasia asing.

"Jejaring sosial seperti Facebook menjadi sumber sangat penting karena mengandung banyak informasi publik yang bisa digunakan oleh dinas intelijen asing untuk mendapat gambaran jelas mengenai orang-orang yang menarik bagi mereka," tambahnya.

AIVD terutama merujuk pada kegiatan mata-mata China dan Rusia di Belanda tahun-tahun belakangan. Tetapi Dinas Rahasia Belanda menjelaskan bahwa banyak negara lain yang juga tertarik mendapatkan informasi dari Belanda, bahkan negara-negara sahabat.

"Mengumpulkan informasi merupakan tugas dinas intelijen, dan ini tidak terbatas pada negara-negara tertentu. Ada banyak negara yang berminat terhadap informasi yang tersedia dalam masyarakat Belanda. Bukan hanya Rusia dan China saja."

 AIVD sendiri juga mengumpulkan informasi intelijen di luar negeri, juga menjaring informasi digital. Namun apa saja persisnya, dinas rahasia tidak bersedia membeberkannya. [rnwl/www.hidayatullah.com]
Baca selengkapnya »

Antara “Dialog Antaragama” dan Dakwah Islam

0 komentar
“Dialog Antaragama” adalah sebuah sajian intelektual yang nampaknya terasa lezat namun menyesatkan tanpa sadar.

www.hidayatullah.com--Dialog Antaragama sudah menjadi tren masa kini. Tren ini membawa problem serius di tengah-tengah umat, tidak saja pada dataran praktisnya, tapi juga membawa problem-problem teologis. Akan tetapi sayangnya, yang tampak indah dan menggiurkan itu ternyata telah prioritas lebih bagi banyak kalangan untuk menggalakkannya, bukan hanya karena ia ber-funding besar tapi juga karena keeolokan wacana yang membangunnya. Akhirnya yang tertangkap dalam kognisi umat bukan lagi agenda-agenda yang sejak berpuluh tahun dirancang oleh Vatikan itu, tapi lebih merupakan keelokannya sehingga tampak positifnya saja dan cenderung menafikan negatifnya.

Tulisan ini tidak akan membahas 'Kuda Troy' untuk yang kedua kalinya --karena sudah dibahas sebelumnya pada diskusi INSISTS Malaysia,  8 November 2009 lalu. Namun demikan, tulisan ini akan mengintip sekali lagi kata dialogue itu sendiri dan apa bedanya dengan ketika ia menjadi frase, Interfaith atau Interreligious Dialogue beserta implikasi-implikasinya secara singkat. Dan apabila suatu tren yang tengah berlaku ini sudah melibatkan sayap-sayap umat Islam di dunia, bagaimana posisi seorang Muslim dan bagaimana ia bersikap menghadapi tren ini? Pertanyaan kedua ini akan sedikit memberi bedahan pada bagian akhir dari tulisan ini.

Dialog, kristenisasi, dan deislamsasi
Jika kata dialog hanya merupakan kosakata biasa, belum menjadi frase, maka maknanya dalam beberapa kamus kurang lebihnya adalah, "a formal discussion between two groups or countries, especially when they are trying to solve a problem, end a dispute". Ia merupakan kata dari Yunani dialogos, dari dialegesthai yang bermakna 'berlawanan dengan' (converse with). Makna ini bisa dimaklumi bahwa ketika ingin berdialog atau mengkomunikasikan sesuatu mestilah ada obyek sebagai lawan dari subyek, mesti juga ada bahan yang akan disampaikan yang kerapkali memang berupa hal yang tidak disepakati oleh penerima. Dan harapannya, sebagai penerima akan menerima dengan sepenuh hati isi dari dialog, di mana di sana juga ada kesepakatan-kesepakatan bersama tentang suatu persoalan yang diputuskan, sebagaimana terdapat pada makna di atas.

Kata ini sepertinya biasa-biasa saja, karena dialog dengan makna ini bisa berlaku dalam semua aspek kehidupan dan oleh karena itu sepertinya lebih netral. Namun, akan menjadi tidak biasa lagi ketika sudah menjadi istilah baku seperti Interfaith atau Interrligiuos Dialogue, di mana dialog ini disatukan dalam frase berbau teologis, yang mendialogkan agama, ideologi, dan segala jenis keyakinan, satu ke yang lainnya. Maka tidak bisa dielakkan lagi muatan-muatan dan nilai-nilai mapan yang terkandung di dalamnya yang turut memproyeksikan agenda-agendanya. Muatan-muatan dan nilai-nilai mapan tersebut sudah didiskusikan pada diskusi INSISTS sebelumnya oleh Dr Syamsuddin Arif yang menyimpulkan bahwa itu merupakan kado Vatikan untuk umat beragama.

Walau bagaimanapun, ada saja yang mengatakan bahwa “Dialog Antaragama” itu sah-sah saja. Bahkan menurut mereka, ini ada dasarnya dalam Al-Quran dan Hadis dan dilaksanakan oleh para ulama terdahulu. Mungkin bagi mereka yang kurang paham agenda di balik Dialog Antaragama yang dicanangkan Vatikan ini akan terkesima dan berterima kasih dengan program-program yang dibuat. Sekedar memahaminya dari sisi kata dialog sebagai yang biasa-biasa saja, mungkin itu menjadikan beberapa pihak kepincut dengan dialog ini. Ajakan untuk menikmati sajian-sajian intelektual di dalamnya nampaknya terasa lezat, namun mengelirukan secara tidak sadar. Perombakan konsep-konsep yang baku dalam Islam mau tidak mau harus sedikit demi sedikit diterima. Maka tidak heran kalau dari dialog ini tidak pernah membincangkan perbedaan, tapi yang mereka cari dan mereka inginkan adalah persamaan, termasuk persamaan teologis dengan berbagai pirantinya.

Prof Dr Wan Mohd Nor Daud, dalam seminar menyongsong satu abad Muhammadiyah, di Universiti Islam Antarbangsa, Malaysia, baru-baru ini (12/12), mengingatkan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini agar sebaiknya jangan bersedap rasa dengan janji-janji pemuka agama Kristen dalam Dialog Interfaith, bahwa mereka sudah tidak lagi meneruskan aksi Kristenisasi, sebagaimana hal itu diperdengarkan oleh salah satu Pengurus Pusat Muhammadiyah waktu itu, yang pernah mendapat undangan menghadiri dialog semacam interfaith ini. Prof Wan menekankan bahwa yang perlu diketahui adalah aksi 'deislamisasi' yang telah berlaku dan akan terus berlaku di kalangan umat ini yang merupakan tren terakhir dan terbaru yang memancarkan satu epistemic value tertentu.

Sebagai strategi, mungkin kristenisasi tidak secara terang-terangan lagi dilancarkan, walaupun hal itu akan terus berlanjut. Sebab “kristenisasi” adalah watak agama Kristen itu sendiri, yang apabila watak ini hilang, maka agama Kristen itu bukan lagi Kristen.  Sebab dengan begitu sudah tidak ada kekristenan di dalamnya. Ibaratnya, walaupun macan sudah mengaku tidak lagi memakan kambing, ayam atau rusa, dll, tapi sebenarnya wataknya tetap seperti semula, tidak akan berubah. Harimau kebun binatang mungkin dia jinak karena semenjak kecil dia sudah terbiasa hidup dan diperlakukan secara baik oleh manusia. Namun bukan berarti itu akan menghilangkan sifatnya sebagai binatang buas. Suatu saat, naluri dasarnya pasti akan tetap muncul sebagai binatang buas.

Termasuklah soal Interfaith Dialogue. Meski agama-agama tertentu mengaku tidak lagi melancarkan usaha kristenisasi, namun sejatinya ia tetap akan berlaku, termasuk melancarkan deislamisasi.

Deislamisasi bermaksud merobohkan keislaman dari diri umat Islam dengan berbagai cara. Dengan deislamisasi, mereka pasti tidak secara langsung mengajak orang kepada kekristenan. Yang pasti mengajak kepada bagaimana memahami Islam tidak seperti hakekatnya Islam dipahami dalam Islam. Mereka menginginkan Islam dipahami sebagaimana yang mereka pahami. Inilah barangkali yang dirancang secara berkala oleh para penjajah Barat dahulu, yang tidak saja membawa misi 3 G;  gold, glory and gosple. Tiga misi penjajahan ini sangat umum dalam sejarah nasional kita di Indonesia, tapi hanya sekedar pengetahuan tanpa dipahamkan bahwa sebenarnya ekoranya terus berlanjut hingga kini. Dari ketiga misi itu Barat menginginkan superioritas di atas lainnya dalam semua bidang, termasuk di sisi ideologi dan keyakinan.

Gospel hanya satu kata kunci yang ingin menggiring umat jajahannya mengikuti misi mereka, dengan berbagai caranya. Tidak berhasil secara langsung, maka mereka akan memaksa secara tidak langsung. Kalau bagi umat Islam, salah satu caranya dengan menjauhkan pemahaman keislaman yang hakiki dari mereka dan menggantikan yang sebaliknya.

Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini tidaklah suatu hal yang asing. Sebab di Indonesia, para kolonial dahulu sudah mengupayakan terciptanya kelompok "pro" mereka dari kalangan umat Islam itu sendiri, dan itu dilakukan dan dirancang sesistematis mungkin. Yang pro mereka ini maksudnya adalah mereka yang berpandangan sama seperti yang mereka inginkan. Merekalah nantinya yang akan aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setelah itu terwujud, maka para kolonialis dan orientalis tidak perlu capek-capek mempropagandakan program-programnya, karena yang menjalankan sudah dari kalangan umat Islam sendiri. Itulah juga yang terjadi pada Dialog Antaragama. Yang menganjurkan dialog ini bukan lagi dari mereka, tapi dari kalangan orang Islam sendiri kini.

Dakwah Islam Anti-Dialog?
Sepertinya, mendialogkan agama yang dipancarkan dari Dialog Antaragama (Interfaith Dialogue) ini jauh berbeda dari yang dikonsepsikan Dakwah Islam. Sebab, jika Dialog Antaragama selalu sibuk mencari kesepakatan-kesepakatan antaragama, yang tidak hanya di dataran yang simple-simple seperti toleransi, hubungan baik, saling menghargai, dll., tapi hingga yang berkaitan dengan teologis, seperti cara beribadah, konsep-konsep agama yang mapan, dan lain sebagainya, yang perlu diturunkan kadarnya, bahkan diganti konsepnya. Maka dakwah Islam seharusnya menyeru kepada sebaliknya. Artinya, dakwah Islam mengajak umat manusia kepada jalan Allah, beriman dengan apa yang dibawa oleh para rasul dengan membenarkan segala berita yang dibawa, patuh dan tunduk dengan segala perintah Allah Swt dan meninggalkan segala larangannya, mengakui Islam sebagai agama terakhir, syumul dan lengkap, dengan pengertian yang sudah mapan.

Jelas dengan seruan dakwah seperti itu menafikan pendekonstruksian konsep-konsep keislaman, penafian pengakuan kebenaran agama di luar Islam, dan jelas pula Islam menolak mencampuradukkan keyakinan. Walaupun begitu, bukan berarti Islam antidialog, karena Islam dalam menjalankan dakwahnya memerlukan dialog dengan semua pihak. Maka di sinilah letak persoalannya. Apakah kita mau mendialogkan agama versi Dialog Antaragama atau kita mau mendakwahkan agama versi Dakwah Islam? Sayangnya, Dialog Antaragama sudah kadung berjalan dan menjalar ke mana-mana.

Wan Suhaimi Wan Abdullah, Associate Professor di Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, dalam bukunya "Konsep Asas Islam dan Hubungan Antaraagama",  menggambarkan konsep dasar Islam dan hubungannya dengan non-Muslim dalam isu Dialog Antaragama, apabila dialog versi 'Kuda Troy' Vatikan ini betul-betul terjadi, maka menurutnya umat Islam boleh mengambil pelajaran sekurang-kurangnya dari tiga ayat yang ia ambil sebagai asas kepada menyikapi isu ini. Yakni surat al-Baqarah, 2: 256, surat Ali Imran, 3: 19, dan surat al-Nahl, 16: 125. Dari tiga ayat itu, berdasarkan pandangan mufassir mu'tabar seperti Ibn Kathir, al-Qurthubi, Jalalain, yang dia ulas, maka Wan Suhaimi membentangkan beberapa hasil analisisnya seperti di bawah ini.

Pertama, tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Sebab paksaan itu bertentangan dengan sifat dan tabiat Islam yang menuntut umatnya menganuti dan menghayati Islam berdasarkan kefahaman dan keyakinan. Iman yang tidak didasarkan pada keyakinan yang mantap akan dipertanyakan kualitasnya, bahkan lebih dari itu, jika taklid semata-mata, maka akan dipersoalkan kesahihannya. Di samping itu, Islam itu sudah jelas kebenarannya. Hanya orang yang jahil saja yang tidak mengerti dan tidak menangkapnya. Tiada agama atau ideologi yang mempunyai suatu sistem yang lengkap dalam berbagai aspek kehidupan selain agama Islam. Oleh karena itu, tugas umat Islam sebagai rijal al-da'wah adalah menyampaikan kebenaran itu. Persoalan orang lain mau beriman atau tidak adalah persoalan hidayat, yang mana ketentuannya bukan di tangan manusia, melainkan di tangan Allah Swt.

Kedua, kehidupan manusia pada umumnya bisa dikaitkan dengan dua pilihan; memilih jalan yang sesat dan merugikan (taghut) atau jalan iman yang penuh keselamatan (Islam), dan tidak ada yang ketiga. Dalam masa yang bersamaan, apabila ingin selamat, maka dua hal, yakni mengingkari taghut sekaligus menerima tauhid, yang harus dilakukan seseorang untuk memperoleh nikmat dengan sebutan berpegang pada tali yang teguh (al-`urwah al-wuthqa), [al-Baqarah, 2: 256].

Ketiga, Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Swt. Iman yang benar adalah iman yang menegaskan bahwa hanya Islam yang diterima oleh Allah Swt, (Ali Imran, 3: 85). Islam yang merangkumi I'tiqad dan amalan adalah satu-satunya ‘urwat al-wuthqa yang menyelamatkan. Konsep teologis yang dipancarkan tauhid adalah sebaik-baik konsep. Ia tidak sama dengan konsep agama, ideologi, dan cara pandang manapun di luar Islam.

Keempat, sikap manusia-lah sebenarnya faktor perselisihan di antara mereka. Kebenaran Islam sudah ditegaskan dengan jelas; jelas akidahnya, lengkap syariatnya, dengan sistem nilai dan sejarahnya yang berwibawa. Fakta berkaitan dengan Islam, ajaran dan kebenarannya bisa didapatkan dari berbagai sumber di mana pun dan dalam bahasa apapun dengan mudah.

Kelima, dakwah atau "dialog" yang berwibawa itu adalah berusaha menyampaikan kebenaran Islam sesuai dengan kondisi obyek dakwahnya. Oleh karenanya, hikmah, mau`izah hasanah ataupun jadal yang baik perlu dilakukan sebagai pendekatan yang relevan untuk diterapkan. Sekiranya mereka ikhlas untuk faham dan jika mendapat hidayat, mereka pasti akan beriman. Namun jika mereka hanya sekadar faham, tetapi tidak mendapat hidayat, mereka sekurang-kurangnya mampu untuk hidup bersama umat Islam secara harmoni. Oleh karena itu, usaha menyampaikan Islam ini bukan suatu yang mudah dilaksanakan. Pengetahuan keislaman yang dimiliki oleh seseorang penyampai dan cara pendekatan penyampaiannya sangat penting demi menyukseskan dakwahnya.

Kemudian, dari hasil analisis tafsir itu disimpulkan bahwa bagi umat Islam harus yakin, Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang diterima berdasarkan ketetapan Al-Quran. Namun demikian, ‘tidak ada paksaan dalam agama’ dengan maksud bahwa umat Islam tidak boleh memaksa orang lain menerima Islam. Islam hanya perlu disampaikan dan diajarkan, bukan untuk dipaksakan penerimaannya. Oleh karenanya, menyeru kepada Islam hendaknya dilakukan dengan pendekatan hikmah, mau`izah hasanah dan jadal yang baik. Ini menggambarkan bahwa kewajiban ‘menyampaikan’ dibarengi dengan upaya dan memastikan pemahaman, hakikat, imej dan pelaksanaan Islam yang dapat ditampilkan dalam bentuk yang terbaik, sebagai contoh kepada umat yang lain, sebab itulah sebenarnya yang dituntut oleh ajaran asas Islam yang dipahami dari tiga ayat di atas.

Dari itu, bagi non-Islam, apabila mereka merasa Islam tidak benar, sehingga perlu mendakwai umat Islam dengan ajaran mereka, maka mereka perlu buktikan apa yang tidak benar dari Islam ini. Apabila gagal, maka sebaiknya mereka perlu menghormati walaupun tidak mau menganutinya. Karena Islam tidak memperbolehkan umatnya memaksa pemahaman kepada orang lain, maka janganlah mereka juga memaksa umat Islam dengan merendahkan kedudukan, menurunkan kadar agama, dan praktik ibadah mereka, walaupun atas nama pluralisme, liberalisme, kesatuan agama atau sebagainya. Mereka juga hendaklah membedakan di antara "Islam" dan "umat Islam". Islam merupakan agama yang sudah final dan sempurna. Apabila ada pemeluk Islam yang berbuat kejahatan, amoral, ekstremis, dan lain sebagainya, maka itu adalah perbuatan umatnya yang bukan berarti mengurangi kesempurnaan Islam itu sendiri.

Bagi kedua-dua pihak (Islam dan non-Islam), bahwa hendaknya berbincang secara aman, adil, objektif dan beretika serta menghargai faham masing-masing tentang agama; tentang Tuhan, praktik keagamaan, kehidupan dan pengalaman keagamaan; menerima dan menghargai hujah yang dicapai; masing-masing melihat sesama umatnya atau umat yang lain sebagai ‘pencari kebenaran’ yang perlukan bimbingan apabila salah, tentunya dengan cara yang bijak.

Dari uraian singkat di atas bisa ditegaskan bahwa sepertinya memang Dialog Antaragama tidak perlu diambil penting oleh orang Islam, sebab dialog itu kebanyakannya merugikan umat Islam. Sementara itu, apabila orang Islam yang sengaja atau tidak sengaja hadir dalam acara ini hendaknya memantapkan jati dairinya, izzah Islam, tidak bisa begitu saja ditukarkan atau disamakan dengan yang lain. Karena izzahnya itu, maka ia juga seharusnya mempunyai jati diri itu, sebagai posisi mantap dan berwibawa di depan umat manusia untuk selalu mendakawahkan agamanya, menyeru kepada jalan Allah Swt. Jadi, posisinya tetap sebagai seorang da'i yang menganjur dakwah Islam, bukan penganjur Dialog Antaragama.

Oleh karena itu, dengan posisi ini, umat Islam tidak perlu menurunkan atau merendahkan kewibawaan Islam, walaupun hanya diminta menyederhanakan terminologi-terminologi yang dianggap menyerang non-Islam seperti istilah kafir, musyrik, munafik, dan lain sebagainya, walaupun dengan dalih pluralisme, liberalisme, multikulturalisme, dan lain sebagainya. Yang hak dan batil tetaplah seperti apa yang disampaikan Al-Quran dan Sunnah, tak pernah berubah. Yang berbeda hanya penyampaiannya yang disesuaikan obyek dakwahnya, baik hikmah, maidzah hasanah, atau mujadalah yang lebih baik. [www.hidayatullah.com]
Baca selengkapnya »

Membangun Peradaban

0 komentar

Universitas Islam harus menjadi pelopor menciptakan manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban bermartabat

Oleh: Hamid F. Zarkasyi
Belalang menjadi burung elang,
Kutu menjadi kura-kura,
dan Ulat berubah menjadi naga.

Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.

Metafora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan dagelan “Petruk jadi ratu”. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau tidak syar’ie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status yang abnormal.

Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca bait berikutnya:

Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,

jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin

tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”
.

Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral.

Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.

Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.

Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah.

Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).

Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?

Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.

Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.
Baca selengkapnya »

Menyikapi Perbedaan dalam Perspektif Historis

0 komentar

Perbedaan yang terjadi di zaman Sahabat masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan Islam. Setiap masalah dapat diselesaikan dengan musyawarah

DEWASA ini umat Islam menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup berat. Selain tantangan eksternal seperti perang pemikiran dan peradaban, tantangan internal juga ikut menggerayangi tubuh umat Islam. Bahkan tantangan dari dalam inilah yang sebenarnya sangat berbahaya. Salah satunya adalah isu perbedaan yang sekarang ini --bagi sebagian besar kita-- masih belum dapat menyikapinya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri lagi, banyaknya berbagai golongan dan bahkan aliran yang ada dalam tubuh Islam sekarang ini memicu kontroversi tersendiri di kalangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia. Tengok saja perdebatan yang sering terjadi antara sesama Muslim. Satu golongan menyalahkan golongan yang lainnya. Satu kelompok merasa hanya kelompoknya sajalah yang paling benar.

Maka serasa sangat penting sekali jika kita mencoba membuka mata dan pikiran kita lagi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat Islam sekarang harus pandai dalam menanggapi kondisi umat seperti ini, di tengah panasnya temperatur perang pemikiran dan musuh-musuh Islam yang berada dalam selimut. Untuk itulah tulisan ini mencobanya memberikan pencerahan berpikir dalam menanggapi itu semua dari perspektif sejarah.

Perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perbedaan itu merupakan hal yang lumrah adanya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang diberikan Allah kepandaian dan kecerdasan yang baik dalam memahami ajaran agama Islam, namun ada juga yang tidak. Dari kalangan sahabat Rasulullah dulu, ada yang diberikan Allah hafalan yang kuat sehingga dapat menghafal wahyu Al-Quran dan hadist Rasulullah, ada juga yang hafalannya kurang.

Pada masa Rasulullah SAW, perbedaan pun juga sudah terjadi. Namun setiap perbedaan pendapat dan permasalahan umat yang muncul dapat langsung diselesaikan melalui beliau. Pada masa Rasulullah ini sumber utama ajaran Islam hanyalah Al-Quran dan Sunnah Nabawiah. Oleh karena itulah tidak ada masalah internal berarti yang dapat mewarnai kehidupan umat Islam ketika itu. Tentu saja ini salah satu kelebihan bagi umat yang hidup di zaman tersebut, sehingga tidak salah lagi apabila generasi Sahabat tersebut diberi julukan generasi terbaik.

Selanjutnya ketika Rasulullah telah tiada, maka beberapa perbedaan di kalangan umat Islam ketika itu telah bermunculan. Mulai dari masalah pemerintahan, sampai akhirnya berujung kepada aliran keagamaan sendiri dalam Islam. Pada masa Sahabat ini, rujukan umat Islam adalah Al-Quran, Sunnah Nabawiah, ijma', dan ra'yu. Dua rujukan terakhir ini adalah salah satu bentuk untuk menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang ada di kalangan Sahabat, selain adanya permasalahan yang baru muncul yang tidak dibahas dalam Al-Quran dan Sunnah Nabawiah. Namun meskipun demikian, tentu saja yang menjadi rujukan utama dan landasan dari dua rujukan terakhir tetap Al-Quran dan Sunnah Nabawiah.

Dakwah Islamiyah di masa Sahabat ini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perluasan wilayah Islamiyah ini adalah salah satu faktor adanya beberapa perbedaan di kalangan Sahabat. Perbedaan adat dan kultur masyarakat dari tempat yang berbeda-beda itulah sebab utamanya. Kultur Arab yang sangat kental pada masyarakat Madinah, berbeda dengan kultur masyarakat Iraq yang ketika itu masih terpengaruh dengan budaya Persia, dan berbeda juga dengan kulturnya masyarakat Mesir dan Syam yang masih menyimpan nilai-nilai budaya Romawi.

Namun perbedaan yang terjadi di antara Sahabat akibat dari faktor tersebut masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan umat Islam. Dan perbedaan yang terjadi ketika itu pun sangat sedikit sekali. Salah satu sebabnya karena para Sahabat masih banyak yang berada di Madinah, khususnya di zaman Khalifah Abu Bakar ra dan Khalifah Umar ibn Khathab ra, sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Pada masa Tabi'in, wilayah Islam semakin luas lagi. Tentu saja semakin beragam pula kultur umat Islam yang melatarbelakanginya. Maka wajar  ketika masa ini berkembang madrasah yang saling berbeda metode pengambilan hukumnya, khususnya dalam penggunaan ra'yu, yaitu Madrasah Ahlul Hadist di Madinah dan Madrasah Ahlul Ra'yi di Iraq.

Salah satu faktor penyebab berkembangnya Madrasah Ahlul Hadist adalah pengaruh yang diterima Tabi'in dari para Sahabat seperti Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Sedangkan Madrasah Ahlul Ra'yi mendapat pengaruh dari Abdullah ibn Mas'ud yang telah lama bermukim di Kufah sejak zaman Khalifah Umar ibn Khathab ra.

Beranjak ke masa Tabi'at tabi'in, kajian ilmu fikih dan berbagai cabang ilmu lainnya mencapai puncak kegemilangannya. Di mana pada masa inilah banyak ulama Mujtahid bermunculan. Sebagai contoh, munculnya berbagai macam mazhab fikih. Tentu saja perbedaan dalam ijtihad lebih beraneka ragam lagi.

Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama terdahulu, sebenarnya hanya berkisar pada masalah furu'iyah atau cabang-cabang fikih saja. Itu pun disebabkan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Misalnya dalam menentukan suatu hukum yang belum ada dibahas dalam Al-Quran dan Hadist, Imam Malik mengedepankan perbuatan penduduk Madinah, karena menurut beliau segala sesuatu yang berkenaan dengan cara beribadah penduduk Madinah tidak mungkin kalau bukan hasil dari melihat perbuatan Rasulullah yang diturun-temurunkan generasi ke generasi. Berbeda dengan Imam Syafi'i yang lebih mengedepankan Ijma' (kesepakatan para ulama) setelah Al-Quran dan Hadist.

Begitulah sekilas gambaran perjalanan perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam. Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digarisbawahi bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu'iyah saja. Jika kemudian perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepankan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.

Jika ada yang mencoba untuk mengubah rukun Iman dan rukun Islam, maka ini harus kita perangi. Jika ada yang mengatakan Al-Qur'an hanyalah produk budaya, ini pun juga harus kita perangi. Jika ada yang memperbolehkan perkawinan homoseksual, pemikiran seperti ini jelas telah menyimpang dari koridor yang telah ditentukan Islam. Namun cara memeranginya pun juga harus baik. Jika kita diserang dengan pemikiran seperti itu, maka untuk membalasnya tentu saja juga dengan pemikiran juga, bukan malah dengan kekerasan.

Jika hal seperti ini yang terwujud di antara umat Islam di Indonesia sekarang ini, maka serasa indah Islam itu  dijalankan. Penilaian-penilaian negatif tentang Islam dan perpecahan, Islam dan kekerasan, hingga Islam dan terorisme, harus segera kita hentikan. Caranya yaitu dengan membangun kembali image Islam yang cinta damai, yang profesional dalam menanggapi segala perbedaan. Image itu akan tumbuh tergantung bagaimana kita menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita.
Baca selengkapnya »
0 komentar

Fundamentalisme dan Kegagalan Liberalisme

Dalam bahasa Arab, fundamentalisme diartikan ushuliyyah (dasar, pokok, pondasi) yang merujuk Al-Quran, as-Sunnah. Tapi mengapa tiba-tiba diartikan menjadi negatif?

Images.com/CorbisPasca kejadian 11 september di Amerika, istilah terorisme selalu diidentikkan dengan “Islam fundamentalis”. Setidaknya jika terjadi pengeboman, maka Islam (AS menyebunya “Islam fundamentalis” akan selalu dibawa-bawa sebagai salah satu pelakunya) walaupun bukti akurat belum ditemukan.

Istilah fundamentalis tidak saja disebut sebagai “teroris” dan pembuat kekerasan atas nama agama, namun fundamentalis juga di identikan dengan orang yang tidak toleran, jumud dan terbelakang.

Bahkan, tak kalah naifnya, ilmuan dan cendekiawan Muslim ikut memasarkan istilah itu dengan mengatakan bahwa keterpurukan umat Islam sekarang adalah dikarenakan faham fundamentalisme. Lalu diagungkanlah liberalisme, sebagai suatu faham yang diyakini sebagai sumber kemaslahatan dan kemajuan dunia. Benarkah bahwa liberalisme merupakan sumber kedamaian di dunia ini dan benarkah fundamentalisme sebagai biang keladi ketidak harmonisan dan anti kedamaian?

Fundamentalisme dan akar Kristen

Fundamentalisme secara terminologi berasal dari kata fundamental yang mempunyai makna basic and important ( mendasar dan pokok) seperti pada kalimat “There is a fundamental difference between your opinion and mine.” ( Miranda Steel:2002). Sehingga fundamentalisme merupakan usaha untuk mempertahankan dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok suatu agama.

Kata ini pada mulanya muncul dalam agama Kristen, dalam sebuah rapat Nothern Baptist Convention tahun 1920, Curtis Lee Laws mendefinisikan fundamentalis sebagai seorang yang siap untuk merebut kembali wilayah yang jatuh ke Antikristus dan melakukan pertempuran agung untuk membela dasar-dasar agama (Karen Armstrong:2002) Bulan Agustus 1917, William Bell Riley berunding dengan A.C. Dixon (1854-1925 M) salah seorang editor buku The Fundamentals, dan revivalis Reuben Torrey (1856-1928 M), memutuskan untuk membuat World Christian Fundamentals Association (WCFA) yang bertujuan untuk menyebarluaskan intrerpretasi injil.

Dalam bahasa Arab kata fundamentalisme diartikan ushuliyyah yang berasal dari kata ashlun, yang mempunyai arti tidak jauh berbeda dengan kata Inggrisnya, yaitu dasar, pokok, pondasi. Seperti dalam ushul fikih, kita mengenal pengertian ashlun sebagai ma bunia alaihi ghairuhu (pondasi). Islam mempunyai ushul sebagai landasan ajarannya, seperti Al-Quran, as-Sunnah, ilmu tafsir, ilmu hadits, fikih dan ushul fikh-nya. Jadi ushuliyyah adalah orang-orang yang memegang teguh pokok-pokok ajaran suatu agama. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa kata fundamentalisme ataupun ushuliyyah tidak mempunyai konotasi negative meski penulis tidak setuju jika terorisme, radikalisme , bom bunuh diri yang dilakukan bukan pada wilayah perang, dan pemikiran jumud dinamakan fundamentalisme atau ushuliyyah, karena hal tersebut bertentangan dengan ushul Islam.

Bagi penulis kata ushuliyyah lebih tepat ditempatkan bagi orang-orang yang benar-benar memegang teguh ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, sunnah, atsar sahabat dan mashadir Islam lainnya. Meminjam ungkapan Yusuf Qardhawi, kalaulah sejak dulu Islam mengajarkan dan disebarluaskan dengan cara perang dan kekerasan, maka tidak mungkin Islam diterima begitu luas oleh masyarakat dunia (Yusuf Qardhawi: Khatbu as-Syaikh al-Qaradhawi).Adapun mengenai Fatwa sesat MUI terhadap aliran-aliran sesat tentunya hal ini bukanlah sikap radikal atau ekstrim, karena menurut fitrah dan akal manusiapun merupakan suatu hal yang wajar, dimana seorang manusia ataupun budaya tidak akan ada yang mau, jika ada yang merubah dan mencela identitas aslinya.

Kegagalan Liberalisme

John Stuart Mal (1806-1873 M) dalam bukunya On Liberty, sebagaimana yang dikutip oleh Abdu ar-Rahim bin Somail as-Silmy dalam bukunya, al-Libraliyah;Nasyatuha Wa Majalatuha, memberi pengertian bahwa liberalisme bukan hanya dalam masalah politik dan ekonomi, sebagaimana yang diusung oleh John Lock dan Smith, akan tetapi liberalisme adalah kebebasan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Selanjutnya dia mengomentari masalah agama, bahwa komunitas beragama tidak termasuk liberal sebab mereka dikekang oleh oleh kesewenangan agama itu sendiri, dia juga mengkritik kepada seluruh agama dan kepada masyarakat yang fundamental dalam menjalankan ajarannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inti dari liberalisme adalah menghilangkan ajaran agama dari muka bumi ini. Dan konsekwensi dari hilangnya agama tentunya tidak adalagi yang namanya kebenaran hakiki, semua orang bebas berbuat dan bebas berpikir untuk mengeluarkan pendapat atau menerima dan memegang suatu pendapat. Sampai walaupun pendapat itu dapat menghancurkan kehidupan dunia. Benar dan salah hanya milik orang atau suatu Negara yang kuat atau dengan istilah lain siapa yang kuat dia yang dapat (huku rimba), Dengan kekuatannya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar dan itulah yang terjadi di dunia sekarang ini.

Salah satu bukti bahwa liberalisme berakibat dapat memegang suatu pemikiran yang walaupun pemikiran itu berbahaya, adalah teori-teori Darwinisme yang banyak diagung-agungkan oleh dunia Barat (sebagai pengagum liberalisme). Darwinisme mengajarkan tentang seleksi alam dan rasisme, sehingga teorinya telah melahirkan berbagai pemikiran dan gerakan terorisme seperti Nazi, Zionisme dengan rasisme Yahudinya, Marxisme dengan teorinya bahwa sejarah manusia adalah sejarah peperangan antar kelas masyarakat, kolonialisme dan kapitalisme.

Robert Wright dalam bukunya The Moral Animal sebagaimana dikutip oleh Harun Yahya mengatakan:“Tidak dapat dipungkiri, teori evolusi memiliki sejarah panjang yang kelam dalam penerapannya pada hubungan antar manusia. Setelah bercampur dengan filsafat politik di sekitar peralihan abad ini, untuk membentuk ideologi yang tidak jelas, yang dikenal dengan “Darwinisme Sosial”, ideologi ini digunakan oleh kaum rasis, fasis dan kapitalis yang tidak memiliki hati nurani”( Harun Yahya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity,2001)

William Jennings Bryan (1860-1952 M), seorang politisi dari kubu demokrat yang juga seorang Presbiterian (gerakan Calvinisme yang didirikan di Scotlandia) pada tahun 1920, dia melancarkan kampanye menentang diajarkannya teori evolusi disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Menurut pandangannya, bahwa darwinismelah yang bertanggung jawab terhadap kekejaman Perang Dunia I (Karen Armstrong:2002). Aksi penjajahan yang sekarang banyak dilakukan Israel , Amerika dan sekutunya telah melahirkan gerakan bom bunuh diri sebagai langkah pembalasan terhadap kejahatan mereka. Hal ini tentunya tidak mungkin terjadi, kalaulah mereka tidak lebih awal melakukan penjajahan. Jadi inti dari serangkaian terorisme – baik penjajahan yang dilakukan amerika dan sekutunya ataupun serangkaian bom bunuh diri sebagai balasan yang ditujukan kepada mereka-- yang terjadi selama ini adalah mereka sendiri yang menciptakan.

Bukti lain kegagalan liberalisme adalah kejadian rentetan pembantaian di dunia pendidikan Barat yang selama ini mendengung-dengungkan kebebasan. Pembantaian plus bunuh diri itu dilakukan tanpa alasan yang kongkrit, atau bisa dikatakan semuanya terjadi dikarenakan kekosongan jiwa dari ruh agama sehingga mengakibatkan prustasi dan hilangnya tujuan hidup. Belum lagi hal ini dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa yang seharusnya ilmu yang didapat memberikan pencerahan dan cahaya bagi hidupnya, dengan ini menunjukan kegagalan pendidikan Barat. Diantara rentetan pembantaian yang terbesar adalah, di Amerika sampai sekarang telah terjadi sedikitnya delapan kali, 1989 terjadi di sekolah Stockton California, 5 orang tewas, 1998 di sekolah yang berada di Jonesboro Arkansas, korban 6 orang, 1999 di sekolah Colombine Colorado, 13 orang tewas, 2005 remaja 16 tahun membunuh 5 orang disekolahnya, tahun 2006 seorang remaja menembaki 11 remaja putri, 5 orang tewas, 2007 32 orang tewas dibantai di Universitas Virginia Tech. Tahun 2008 seorang siswi membunuh rekannya sebelum bunuh diri dan yang terakhir kemarin 14 februari 2008 18 orang tertembak di Universitas Northern Illinois, 5 orang tewas. Belum lagi yang terjadi di Negara barat lainnya seperti, 1989 di Universitas Montreal Kanada 14 orang tertembak oleh seorang pria termasuk pelakunya bunuh diri, 1996 di Dublane Skotlandia 16 anak dan seorang guru di bantai dan tahun 2002 di Jerman, seorang siswa marah dan menembak 16 orang termasuk 12 guru dan 2 siswa (detik.com, 15/02/2008).

Atas nama kebebasan juga telah melahirkan pemikiran yang belakangan ini menjamur di Indonesia yakni kebebasan berekspresi sehingga tidak ada lagi batasan antara yang layak dan tidak layak dipertontonkan di halayak umum.

Undang-undang pornografi dan pornoaksi pun banyak ditentang karena melanggar hak kebebasan, padahal semuanya itu yang telah menimbulkan kejahatan yang sama bahayanya dengan terorisme, seperti menjamurnya kasus aborsi, pembunuhan bayi, perdagangan manusia, kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur, pemerkosaan, anak-anak terlantar, homoseks, seks bebas dan lain sebagainya.

Semua itu yang pada mulanya merupakan hal yang tabu dan sangat jarang terjadi namun dengan adanya kebebasan berekspresi hal itu menjadi suatu yang lumrah dan mungkin lama-lama kelamaan akan dianggap wajar, padahal hal itu jika terus terjadi akan menghancurkan kehidupan manusia sendiri.

Jadi akankah umat Islam terus disudutkan sebagai manusia pembuat kekacauan dan ketidakharmonisan? Ataukah atas nama kebebasan itu sendiri yang telah menghantarkan dunia menjadi kacau dan tidak harmonis?.

Dan kita harus memilih mana? Memilih Islam yang liberal yang membolehkan melakukan apa saja tanpa aturan atau Islam yang fundamental (ashlun) yang dalam kata aslinya merujuk pada andasan ajarannya, seperti Al-Quran, as-Sunnah, ilmu tafsir, ilmu hadits dan fikih?[www.hidayatullah.com]
Baca selengkapnya »
 

Template Information

Contact Us

Kotak Pesan

Random Post

husnah

statistics

visitor

Followers

Copyright © Hidayatullah Medan All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv