DEPAN

DEPAN
Photobucket

Merasakan Kelezatan Spiritual

Sabtu, 13 Maret 2010
Kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang yang tak bisa menerangi hati manusia.
Tokoh penting Singapura,  Lee Kuan Yew,  pernah mengingatkan generasi mudanya : “ Hidup bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit Singapura. Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam hidup ini. ”Ungkapan arif demi melihat kembali keluhuran tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang kita melihat generasi muda bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi jangka pendek (mata’).

Pertanyaan umum klasik rata-rata calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang berkisar tentang kebimbangan, ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana saya harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa ?”. Tapi sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja dunia seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman ini ketika setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada anak-anak bangsa untuk menjadi “mesin pembuat uang”. Di seberang lain, perguruan tinggi harus merespon permintaan pasar sehingga berurusan dengan tujuan karir-profesi dan penambahan income belaka.

Pada saat yang sama, para guru bangsa, mereka yang berada di koridor kekuasaan, kelas menengah bangsa, merasakan ketiadaan makna hidup semacam itu. Tidak sedikit yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini untuk apa, ketika sudah di puncak ? Ketika semuanya sudah diperoleh dan sangat berlebih ?. Tetapi mengapa seperti terus saja terasa ada yang belum tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ? Seperti ada yang belum terselesaikan ?. Pesona gemerlapan material, prestise,  terbukti membuat pemburunya kecewa ?.

Kata orang, itulah fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk sesama itu kehilangan, bukan mendapatkan. Sungguh, dunia tenggelam dalam kubangan lumpur materialisme.

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.” 
[QS. An-Nur (24) : 39].

Disadari, ternyata hanya pemuasan kebutuhan psikologis, yang tak kunjung terpuaskan. Akibatnya orang yang mempercayakan kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah karakternya. Mereka cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Bangsa sipil yang bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa yang bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan makna hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta. Berebut pengaruh, posisi, nasi dan kursi. Sekalipun harus menghalalkan segala cara. Persetan dengan aturan halal dan haram.

Dari kecil, anak-anak bangsa di dunia, diajarkan kecanduan pada bendawi. Mainan, makanan, dan hal-hal kebendaan. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas konsumen dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh pemenuhan sesaat. Memperlakukan diri sendiri sebagai komunitas, tapi tak terjawabkan semua itu sejatinya untuk apa. Pertanyaan klasik yang tak kunjung terjawab dengan memuaskan. Hidup ini dari mana, untuk apa dan mau kemana ?.

Anak-anak di dunia diajarkan menjadi manusia yang hidup menurut standar sosial yang labil. Menghargai orang lain atas apa yang dimiliki, bukan pada apa yang orang sikapi dan lakukan untuk hidup. Selubung materialisme yang menjadikan mereka sering merasakan kekeringan, kegersangan dan kehampaan hidup.

Materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar dan rapuh. Jarang berkumpul bersama dalam keluarga, serta bingung mengisi waktu senggang menjadi pola kejenuhan baru orang modern. Tak habis-habisnya mereka sibuk dan kekurangan waktu. Makin terasing ditengah keramaian dan kerumunan manusia,  menambah kerumitan hidup manusia. Sebuah keprihatinan sosiologis di ujung abad globalisasi.

“Industri hati yang sepi”, menjadi bisnis baru dunia yang kini banyak diminati masyarakat modern. Mereka merasakan kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa nihilistik. Generasi muda Jepang sekarang membenci orang tua mereka sendiri yang pandangan hidupnya cuma untuk kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan orang tua yang telah membuat hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang sekarang mengisi kehidupannya di malll dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang politik, free seks, dugem, narkoba, yang penging have fun, dan entah apa lagi. Tetapi sayang, mereka tidak menemukan yang dicarinya di sana. Karena kebahagiaan bukan berbentuk barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa yang diidamkan terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template Information

Contact Us

Kotak Pesan

Random Post

husnah

statistics

visitor

Followers

Copyright © Hidayatullah Medan All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv