DEPAN

DEPAN
Photobucket

Kiat Sukses Berinteraksi dengan Al-Quran

Selasa, 28 Desember 2010
0 komentar
Untuk mengembalikan kita pada pola interaksi yang benar terhadap al-Quran, sehingga al-Quran kembali menjadi sumber kekuatan kita untuk membangun peradaban (iman dan islam), kiat-kiat berikut ini sangat perlu diwujudkan.

Pertama: Tilawah wa Tartil (selalu membaca dengan benar)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih serius antara lain

•    Dengan membaca al-Quran secara berkesinambungan akan menambah iman kepada Allah SWT

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman [sempurna ] ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." (QS. Al Anfal (8) : 2).

•    Mendatangkan petunjuk, menjadi obat berbagai penyakit di dalam dada, serta rahmat dan nasihat

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus (10) : 57).

•    Suka membaca indikator mutu keimanan seseorang

"Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya[tidak merubah dan mentakwilkan sesuka hatinya], mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al Baqarah (2) : 121).


•    Membaca secara tekun menambah kebaikan yang banyak, baik dalam keadaan miskin ataupun kaya

"Dan Ini (Al-Quran) adalah Kitab yang telah kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya." (QS. Al Anam (6) : 92)

•    Membaca secara tartil akan mendatangkan perkataan yang berbobot, melepaskan manusia dari belenggu kesesatan, mencerahkan pikiran dan hati yang kalut serta merasakan kegembiraan dalam mengelola pasang surut (fluktuasi) kehidupan.

"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat." (QS. Al Muzzammil (73) : 5).

•    Membaca secara berkelompok akan mendatangkan ketenangan dan rahmat serta syafaat pada hari kiamat (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua: Tadabbur (merenungkan isinya)

•    Mentadabburi Al-Quran bisa membuka hati untuk menerima petunjuk Allah SWT  dan memperoleh pelajaran yang sangat berharga

"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran." (QS.Shad (38) : 29).

•    Yang membaca Al-Quran tanpa dibarengi dengan tadabbur (merenungkan kandungannya) akan mendatangkan bencana

Ketiga: Hifz (menghafalkan)

•    Al-Quran mudah dihafalkan sekalipun yang melakukannya bukan orang Arab (‘ajam), karena kata-katanya, huruf-hurufnya, susunan kalimatnya, uslub (gaya bahasanya) sesuai dengan fithrah manusia.
"Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?." (QS. Al Qamar (54) : 17, 22, 23, 40).

•  Biasanya, sulit menghafalkan Al-Quran karena banyak melakukan dosa
                 
Imam Syafii mengadu kepada guruku Waki’, atas kejelekan hafalan al-Qurannya. "Maka ia membimbingku agar meninggalkan masiat. Karena ilmu itu cahaya, cahaya Allah tiada akan diberikan kepada yang berdosa, " ujar Imam Syafii.

•    Penghafal Al-Quran terhindar dari kepikunan, setelah meninggal jasadnya diharamkan oleh Allah SWT untuk dilukai bumi
•    Hafalan Al-Quran akan mengembangkan saraf otak (penelitian di Universitas Munich, Jerman).

Keempat: Ta’lim (mengajarkannya kepada orang lain)

•    Generasi yang dekat dengan Allah SWT adalah yang tidak berhenti belajar dan mengajarkan Al-Quran (QS. Ali Imran 3) : 79 )

"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT], karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."

Kelima: Istima’ (selalu mendengarkannya secara berkesinambungan)

•    Yang senang mendengarkan Al-Quran adalah manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" katakanlah: "sesungguhnya aku Hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."
(QS. Al Araf (7) : 203).

Allah SWT memberi satu mulut dan dua telinga adalah untuk mendidik manusia supaya sedikit bicara (hemat kata) dan banyak mendengar (perkataan ahli hikmah).  Kualitas kepemimpinan seseorang diukur tidak dari banyaknya meriwayatkan (katsratur riwayah), tetapi banyak melayani yang dipimpin dan mendengarkan aspirasinya (katsratur ri’ayah wal istima’).
Orang yang tidak senang mendengarkan Al-Quran cenderung menutup diri, sehingga dijauhkan dari petunjuk, sebagaimana umat Nabi Nuh as. Mudah-mudahan,kita bukan dari bagian itu.
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah, tinggal di Kudus, Jawa Tengah  
Baca selengkapnya »

10 Langkah Meraih Cinta Allah

Rabu, 22 Desember 2010
2 komentar
     Tujuan hidup seorang Muslim adalah memperoleh ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memasuki surga-Nya. Tujuan ini akan tercapai hanya jika ia menjalani hidup secara mulia, baik sebagai hamba Sang Khalik maupun sebagai makhluk sosial, dan wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Adapun tujuan hidup orang kafir hanya untuk memenuhi syahwatul bathn (syahwat perut) dan syahwatul farj (syahwat seks). Maka, aktivitas hidupnya pun hanya untuk memburu sesuatu yang menyenangkan sesaat, tapi kemudian membuat dirinya sendiri kecewa.
     Allah Ta’ala berfirman, ”Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati sesuatu apa pun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur [24] : 39)
Jika sudah demikian, mereka lebih rendah dari binatang. Sebab, sebagai makhluk yang memiliki kebihan akal dan kemampuan spiritual, seharusnya mereka tidak berbuat seperti itu. Panca indera mereka sudah tak lagi berinteraksi dengan ayat-ayat-Nya.
     Allah Ta’ala berfiman, ”Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf [7] : 179)
Kiat Meraih Cinta-Nya
     Seorang Muslim tidak boleh terjebak pada tujuan memburu kenikmatan sesaat sebagaimana yang diderita oleh kaum yang tidak beragama.
Apa pun keadaannya seorang Muslim harus menggunakan karunia-Nya secara maksimal untuk mencapai kenikmatan yang bersifat permanen (akhirat).
Bagaimana mewujudkannya? Bagaimana meraih cinta-Nya? Berikut langkah-langkahnya.
     1. Selalu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melakukan ibadah mahdhah secara istiqamah.
Allah Ta’ala berfirman, ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah [2] : 185)
     Dalam Hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman, ”Aku dalam sangkaan hamba-Ku, dan Aku akan selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kemudian apabila ia ingat Aku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia ingat kepada-Ku dalam satu kaum, maka Aku akan mengingatnya dalam kaum yang lebih banyak dari pada kaum itu. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, aku akan datang kepadanya dengan lari-lari kecil.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
     2. Kecintaan Allah Ta’ala bisa diperoleh dengan menjalankan ibadah nawafil (tambahan/sunnah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda, ”Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, sebagai tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Ku-beri dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Aku lindungi.” (Riwayat Bukhari)
     3. Kecintaan Allah Ta’ala juga bisa diperoleh dengan mencintai para kekasih-Nya. Merekalah orang-orang yang senantiasa ditolong, dilindungi, dan dibela oleh-Nya.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (Ra), Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman, ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Ku-izinkan ia diperangi.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
     4. Mengikuti ajaran Rasulullah SAW (ittiba’) sebagai bukti kecintaan kepada beliau.
Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran [3] : 31)
     5. Berperang di jalan Allah Ta’ala dengan shaf yang rapi.
Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff [61] : 4)
     6. Sabar ketika diuji dengan penderitaan dan syukur ketika diuji dengan kelapangan.
Allah Ta’ala berfirman, ”Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran [3]: 146)
     7. Selalu berbuat baik dan suka menolong sesama.
Allah Ta’ala berfirman, ”Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (al-Maidah[5]: 93)
Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah RA, juga bersabda, “Barangsiapa melepaskan seorang Mukmin dari penderitaan-penderitaan dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya penderitaan-penderitaan hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan yang sulit niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup aib seorang Muslim maka Allah akan menutup aibnya di akhirat. Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (Riwayat Muslim)
     8. Bertakwa dan berbuat adil.
Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah [9]: 7).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman, ”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah 60)
     9. Ikhlas dalam beramal.
Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang meninggalkan dunia dalam keadaan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala, tidak menyekutukan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, (lalu) ia wafat, maka Allah ridha kepadanya.” (Riwayat Ibnu Majah)
     10. Bertobat dengan tulus.
Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah [2] : 222)
Baca selengkapnya »

Mari Singkirkan Sampah Kehidupan

Minggu, 05 Desember 2010
0 komentar
Agama Islam sangat menekankan kebersihan, baik kebersihan fisik maupun batin. Cinta Allah, antara lain, dialamatkan kepada orang yang bersih dan menyucikan diri. (QS Al-Baqarah [2]: 222).  Setiap Muslim tentu sudah sangat maklum, hadis Nabi yang menyatakan, "Al-Thuhur-u syathr-u al-Iman." (Kebersihan adalah separuh dari iman). (HR Muslim dari Abi Malik al-Anshari).

Untuk bisa hidup bersih dan sehat, kita harus membuang dan membersihkan apa yang dinamakan 'sampah kehidupan' (life garbage). Sampah kehidupan itu banyak sekali, baik dalam diri maupun lingkungan kita. Namun, ada empat yang terpenting.

Pertama, sampah berupa kolesterol atau lemak-lemak tak berguna dalam tubuh kita. Sampah ini timbul karena pola makan yang kurang baik, dan bisa berkembang menjadi toksin (racun) yang dapat mengganggu kesehatan kita. Sampah ini bisa dibersihkan, antara lain, melalui puasa sunah, puasa Senin-Kamis, atau puasa hari-hari terang (Ayyam al-Baydh).

Kedua, sampah pikiran, yaitu pikiran negatif (negative thinking) yang dapat mengganggu kesehatan dan kemajuan kita. Pikiran kumuh, pesimistis, dan pandangan atau kepercayaan yang cenderung melemahkan diri sendiri (limiting believe) tergolong sampah pikiran.

Sampah yang satu ini sangat berbahaya, karena tak ada sesuatu yang paling membelenggu manusia selain pikirannya sendiri. Sampah ini harus dibersihkan, antara lain, dengan cara membangun pikiran baru (mindset) yang positif dan optimistis (husn al-zhann), serta fokus pada kemajuan, bukan pada kemunduran.

Ketiga, sampah relasi sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan orang lain. Namun, dalam berkomunikasi, manusia memerlukan keterampilan  tersendiri agar terhindar dari akibat buruk. Ingat, dalam komunikasi itu timbul saling memengaruhi. Emosi negatif bisa memancarkan emosi dan energi negatif pula melalui apa yang disebut 'vibrasi emosi'.

Itu sebabnya, Islam menyuruh agar kita bergaul dan berteman dengan orang-orang baik (shuhbat al-shalihin). Bahkan, sufi terkemuka, Ibnu Athaillah al-Sakandari, dalam bukunya yang sangat kesohor, al-Hikam, melarang kita berteman dengan orang-orang yang tidak inspiratif. Katanya, "La tashhah man la yunhidhuka qauluh-u wa fi`luh-u."

Kempat, sampah berupa dosa-dosa kita. Dosa dan maksiat adalah sampah yang mengotori jiwa dan hati kita. Para sufi sudah sejak lama memandang dosa ibarat polusi atau awan tebal yang menutupi hati-nurani kita. Sampah ini harus dibersihkan dengan tobat, yaitu meninggalkan dosa-dosa, baik besar maupun kecil, dan kembali ke jalan Tuhan. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah [2]: 222). Wallahu a`lam.
Baca selengkapnya »

Menangislah, Ketika Membaca al-Quran

Senin, 22 November 2010
0 komentar
Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an, demikian kata Nabi

Berbeda dengan Kitab Suci lain, al-Quran adalah firman Allah yang tidak mengandung kebatilan sedikit pun. Ia memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat.

Untuk itu tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari al-Quran. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Karena begitu mulianya kedudukan al-Qur’an, maka ketika membaca al-Quran  seseorang perlu memperhatikan adab-adabnya  agar mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Nya:

Pertama, ihlas dan menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan adab yang paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan niat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari, kitab Bad’ul Wahyi, Jld.I, hal.9) 

Karena itu, wajib mengihlaskan niat dan memperbaiki tujuan serta menjadikan hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya, menggapai surga-Nya dan mendapat ridla-Nya. 

Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa. Nabi SAW bersabda, “Tiga orang yang pertama kali menjalani penyidangan pada hari Kiamat nanti…[Rasulullah SAW kemudian menyebutkan di antaranya]…dan seorang laki-laki yang belajar ilmu lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu ia dibawa menghadap, lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka ia pun mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu amalkan itu.?” Ia menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya dan membaca al-Qur’an.’ Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong akan tetapi hal itu karena ingin dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca ayat al-Qur’an).’ Dan memang ia dikatakan demikian. Kemudian ia dibawa lalu wajahnya ditarik hingga dicampakkan ke dalam api neraka.”(HR.Muslim, Jld.VI, hal.47) 

Manakala seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata karena mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan kebahagian yang tidak dapat ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di dunia. 

Kedua, menghadirkan hati (konsentrasi penuh) ketika membaca dan berupaya menghalau bisikan-bisikan syetan dan kata hati, tidak sibuk dengan memain-mainkan tangan, menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyibukkan pandangan dengan selain al-Qur’an. 

Ketiga, mentadabburi (merenungi) dan memahami apa yang dibaca, merasakan bahwa setiap pesan di dalam al-Qur’an itu ditujukan kepadanya dan merenungi makna-makna Asma Allah dan sifat-Nya. 

Keempat, tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata, “Dianjurkan menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi yang tidak mampu (melakukan yang pertama-red.,), merasa sedih dan khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302) 

Kelima, bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh atau nifas bagi wanita. 

Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’, no.7657) 

Perlu diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan tidak sedang berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya untuk mencuci mulut (menggosok gigi-red.,) dengan siwak sebab ia membersihkan mulut sedangkan mulut merupakan ‘jalan’ al-Qur’an. 

Keenam, sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab ia merupakan arah yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid atau di rumah. Tetapi bila tidak memungkinkan, baik karena ia berada di kios, mobil atau sedang bekerja, maka tidak apa membaca al-Qur’an sakali pun tidak menghadap Qiblat. 

Ketujuh, disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (an-Nahl:98) 
 
kedelapan, memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin.

Rasulullah SAW bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kamu sebab suara yang bagus membuatnya bertambah bagus.” (dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’, no.358)
 
“Disunnahkan memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an. Terdapat banyak hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang suaranya tidak bagus, maka ia boleh memperbagus semampunya asalkan jangan keluar hingga seperti karet (dilakukan secara tidak semestinya dan menyalahi kaidah tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I, hal.302) 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan bagus).” (Shahih al-Bukhari, Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid, no.7527) 
 
Hendaknya pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah seorang Qari’ atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu dapat menyibukkan dirinya dari mentadabburi dan memahaminya serta menjadikan seluruh keinginannya hanya pada mengikuti orang lain (taqlid) saja. 

Kesembilan, membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh as-Suyuthi, “Membaca dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada membaca dari hafalan sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I, hal.304) 

Hanya saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek kekhusyu’an; bila membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah kekhusyu’an si pembaca, maka itu lebih baik. Demikian pula, bila bagi seseorang yang tingkat kekhusyu’an dan tadabburnya sama dalam kondisi membaca dan menghafal; ia boleh memilih membaca dari hafalan bila hal itu menambah kekhusyu’annya. 
 
Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang pembaca, khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk memilih satu jenis cetakan saja sehingga hafalannya lebih kuat dan mantap. 

Demikian pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak meletakkannya di tanah/lantai, tidak pula dengan cara melempar kepada pemiliknya bila ingin memberinya. Tidak boleh menyentuhnya kecuali ia seorang yang suci. 

Sepuluh, membaca di tempat yang layak (kondusif) seperti di masjid sebab ia merupakan tempat paling afdhal di muka bumi, atau di satu tempat di rumah yang jauh dari penghalang, kesibukan dan suara-suara yang dapat mengganggu untuk melakukan tadabbur dan memahaminya. Karena itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an di komunitas yang tidak menghormati al-Qur’an.

Demikianlah adab-adab membaca firmal Allah, yang tiada duanya, dibanding dengan kitab-kitab suci agama lain. [SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi’ah an-Naasyi’ah- al-Hadits karya Dr Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, hal.21-25/hidayatullah.com]
Baca selengkapnya »

10 Keutamaan Puasa Ramadhan

Kamis, 26 Agustus 2010
0 komentar
sepuluh keutamaan orang-orang yang berpuasa yang ada pada umat ini.

Pertama, Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Kata Nabi dalam satu haditsnya, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari-Muslim)

Kedua, Allah telah mengfungsikan puasa umat Nabi Muhammad saw sebagai benteng yang kokoh dari siksa api neraka, sekaligus tirai penghalang dari godaan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasul bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).

Rasul menambahkan pula bahwa puasa yang berfungsi sebagai perisai itu layaknya perisai dalam kancah peperangan selama tidak dinodai oleh kedustaan dan pergunjingan. (HR. Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, Allah memberikan keistimewaan kepada ahli puasa dengan menjadikan bau mulutnya ada nilainya. Sehingga Rasul bertutur demikian, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah dari bau minyak misik.”

Keempat, Allah memberikan dua kebahagiaan bagi ahli puasa, yaitu bahagia saat berbuka dan pada saat bertemu dengan Allah kelak. Orang yang berpuasa dalam santapan bukanya meluapkan rasa syukurnya di mana bersyukur termasuk salah satu ibadah dan dzikir.

Syukur yang terungkap dalam kebahagiaan karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk menyempurnakan puasa di hari tersebut sekaligus berbahagia atas janji pahala yang besar dari-Nya. “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Yaitu berbahagia kala berbuka dan kala bertemu Allah.” (kata Rasul dalam hadits riwayat imam Muslim).

Kelima, puasa telah dijadikan oleh Allah sebagai medan untuk menempa kesehatan dan kesembuhan dari beragam penyakit. “Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu`aim).

Abuya menegaskan bahwa rahasia kesehatan di balik ibadah puasa adalah bahwa puasa menempa tubuh kita untuk melumatkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh dan mengosongkan materi-materi kotor lainnya dari dalam tubuh.

Menurut kerangka berpikir Abuya, puasa ialah fasilitas kesehatan bagi seorang hamba guna meningkatkan kadar ketakwaan yang merupakan tujuan utama puasa itu sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183).

Keenam, keutamaan berikutnya yang Allah berikan kepada ahli puasa adalah dengan menjauhkan wajahnya dari siksa api neraka. Matanya tak akan sampai melihat pawai arak-arakan neraka dalam bentuk apapun. Rasul yang mulia berkata demikian, “Barangsiapa berpuasa satu hari demi di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, dan Nasa`i).

Ketujuh, dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At Taubah: 112).

Sebagian ulama ahli tafsir menerangkan bahwa orang –orang yang melawat (As Saihuun) pada ayat tersebut adalah orang yang berpuasa sebab mereka melakukan lawatan (kunjungan) ke Allah. Makna lawatan, tegas Abuya, di sini adalah bahwa puasa merupakan penyebab mereka (orang yang berpuasa) bisa sampai kepada Allah. Lawatan ke Allah ditandai dengan meninggalkan seluruh kebiasaan yang selama ini dilakoni (makan, minum, mendatangi istri di siang hari) serta menahan diri dari rasa lapar dan dahaga.

Sembari mengutip al-Qur’an pula, Abuya mencoba menganalisa surah Az Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Orang-orang yang bersabarlah maksudnya adalah orang yang berpuasa sebab puasa adalah nama lain dari sabar. Di saat berpuasalah, orang-orang yang bersabar (dalam beribadah puasa) memperoleh ganjaran dan pahala yang tak terhitung banyaknya dari Dzat Yang Maha Pemberi, Allah swt.

Kedelapan, di saat puasa inilah Allah memberi keistemewaan dengan menjadikan segala aktivitas orang yang berpuasa sebagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Karenanya, orang yang berpuasa dan ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna (diam) adalah ibadah serta tidurnya dengan tujuan agar kuat dalam melaksanakan ketaatan di jalan-Nya juga ibadah. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Mundih dinyatakan, “Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya merupakan ibadah, dan doanya akan dikabulkan, serta perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya).”

Tentu, tidak dimaksudkan bahwa puasa itu dipenuhi dengan tidur. Bahkan harus sebaliknya, jauh lebih keras.Hanya saja, nilai tidur orang berpuasa di hadapan Allah berbeda dengan tidurnya orang yang tidak berpuasa.

Kesembilan, di antara cara yang Allah memuliakan orang yang berpuasa, bahwa Allah menjadikan orang yang memberi makan berbuka puasa pahalanya sama persis dengan orang yang berpuasa itu sendiri meski dengan sepotong roti atau seteguk air. Dalam satu riwayat Nabi bertutur, "seseorang yang memberi makan orang yang puasa dari hasil yang halal, akan dimintakan ampunan oleh malaikat pada malam-malam Ramadhan…meski hanya seteguk air." (Hr. Abu Ya`la).

Kesepuluh, orang yang berbuka puasa dengan berjamaah demi melihat keagungan puasa, maka para malaikat akan bershalawat (memintakan ampunan) baginya. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari sepuluh keutamaan tersebut.
Baca selengkapnya »

Meraih Berkah Ramadhan

0 komentar
Bulan Ramadhan segera tiba. Tentu saja sebagai orang beriman, kita ingin mengisi bulan ini sebaik-baiknya. Karenanya, di antara yang perlu kita perhatikan adalah adab-adab dalam menjalankannya. Tujuannya, agar tercapai keselarasan antara perintah-perintah syariat dengan maksud pelaksanaan ibadah tersebut. Di antara adab-adab yang semestinya dilakukan antara lain:

1. Menyambutnya dengan bangga, gembira, dan bahagia. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, ’Dengan Kurnia dan rahmat-Nya, maka dengan itu bergembiralah kalian. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” ” (Yunus [10]: 58)

Bentuk sambutan itu dengan memuji Allah yang telah memberi kita bulan mulia ini. Kemudian meminta pertolongan-Nya, agar mampu melaksanakan ibadah dengan baik.
2. Senantiasa makan sahur, karena berkah yang terkandung di dalamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena pada makanan sahur itu terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Adapun makan sahur disunnahkan mengakhirkan, yakni hingga waktu sangat dekat dengan waktu fajar/shubuh.

3. Menyegerakan buka puasa. Diriwayatkan dari Sahal bin Saad, Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda: ‘Manusia (umat Islam) masih dalam keadaan baik selama mentakjilkan (menyegerakan) berbuka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4. Mengawali buka puasa dengan memakan kurma basah. Diriwayatakan dari Anas Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah berbuka dengan makan beberapa ruthaab (kurma basah) sebelum shalat, kalau tidak ada maka dengan kurma kering, kalau tidak ada maka dengan meneguk air beberapa teguk.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim)
5. Selesai berbuka hendaknya berdoa. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, “Adalah Nabi Muhammad selesai berbuka beliau berdoa:——-arabnya—-
Artinya, telah pergi rasa haus dan menjadi basah semua urat-urat dan pahala tetap ada Insya Allah.” (Riwayat Daaruquthni dan Abu Daud)
6. Memperbanyak sedekah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas. ia berkata: “Adalah Rasulullah orang yang paling dermawan dan beliau lebih dermawan lagi pada Ramadhan ketika Jibril menemuinya, dan Jibril menemuinya pada setiap malam pada Ramadhan untuk mentadaruskan al-Qur’an dan benar-benar Rasulullah lebih dermawan tentang kebajikan (cepat berbuat kebaikan) daripada angin yang dikirim.” (Riwayat Bukhari)
7. Menggalakkan shalat malam atau shalat tarawih. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Adalah Rasulullah menggalakkan qiyamullail (shalat malam) di bulan Ramadhan tanpa memerintahkan secara wajib. Beliau bersabda: ‘Barang siapa yang shalat malam di bulan Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni baginya dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Jama’ah)
8. Berusaha mendapatkan malam lailatul qadar. Diriwayatkan dari Aisyah: “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: Berusahalah untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir.” (Riwayat Muslim)
Kita dianjurkan bersungguh-sungguh mendapatkan lailatul qadar ini karena memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah.
9. Melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: “Adalah Rasulullah mengamalkan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan oleh Allah Azza wa Jalla.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Baca selengkapnya »

Bermurah Hati di Bulan Suci

Minggu, 22 Agustus 2010
0 komentar
Teladan kita, Baginda Rasul SAW adalah manusia yang paling murah hati (dermawan), terutama pada bulan–bulan Ramadhan

Oleh: Amiruddin Thamrin MA*

”Kami telah menentukan antara mereka penghidupan (rizki) mereka di dunia. Dan kami telah meninggikan beberapa derajat sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar sebagian mereka dapat mengambil manfaat (mempergunakan) sebagian yang lain.”
[al-Zukhruf: 43/32]

Interaksi antara individu dalam masyarakat telah diatur oleh agama dengan begitu indahnya berdasarkan prinsip saling kasih sayang, saling hormat menghormati serta saling memberikan keuntungan.  Korelasi hubungan antara suami dan istri, antara pimpinan dan bawahan,  antara anak dan orang tua, antara si kaya dan si miskin, antara Muslim dengan saudaranya non Muslim, semua diatur atas dasar saling hormat menghormati sehingga semua manusia di dunia ini sejajar, tidak ada yang merasa lebih tinggi, lebih terhormat atau lebih berkuasa antara satu dengan yang lain.

Kaitannya dengan korelasi antara si kaya dan miskin, agama mendorong  umat untuk berupaya semaksimal mungkin dan bertawakal dalam mencari rezeki. Sekiranya kebutuhan masih belum tercukupi atau belum terpenuhi, islam tetap  melarang meminta-minta kecuali darurat sekali.

Agama melarang keras seorang Muslim untuk minta-minta, apalagi menjadikan minta-minta ini sebagai profesi. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang memalukan dan keaiban dalam Islam, yang aib adalah kemalasan, makan rezeki tak halal dan mudah putus asa.

Baginda Rasul SAW pernah bersumpah bahwa seorang yang mencari rezeki dengan mencari dan menjual kayu bakar, jauh lebih baik dari pada orang yang meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak diberi. Sebaliknya agama memuji orang yang bersikap muta’afif, yaitu orang miskin yang menjaga kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.

Sementara itu, pada saat yang sama, melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW banyak sekali yang mendorong orang yang mampu untuk mengulurkan tangan, bersedekah dengan memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu, tanpa harus menunggu untuk diminta. Dengan demikian hubungan antara yang memberi dan diberi tetap mesra dan terhormat, hubungan saling membutuhkan, sehingga si kaya dapat memberi dengan penuh keikhlasan karena tanpa harus diminta, begitu pula kehormatan si penerima tetap terjaga karena mereka diberi tanpa harus meminta.

Hal penting lain dalam bersedekah hendaknya bantuan diutamakan bagi kerabat keluarga yang miskin terlebih dahulu, karena sebagaimana dalam sebuah hadits yang menekankan bahwa pemberian kepada fakir miskin merupakan sedekah, tetapi jika diberikan kepada kerabat keluarga yang miskin merupakan sedekah dan penyambung silaturahim, yakni mendapatkan pahala sedekah dan pahala silaturahim. Barulah setelah itu diperuntukkan bagi para fakir miskin secara umum, terutama yang muta’affif.

Karenanya, kepada yang kaya penderma atau badan yang mewakilinya untuk selektif dan teliti dalam mencari dan memberikan bantuan kepada fakir miskin agar tidak tertipu.

Saat seseorang mengulurkan tangannya kepada fakir miskin, pada hakekatnya fakir miskin tersebut juga membuka jalan, memberikan bantuan kepada si kaya yang mendermakan hartanya. Fakir miskin yang menerima sedekah tadi berarti telah mengulurkan tangannya demi kepentingan dan kemaslahatan si pemberi sendiri.

Bersedekah mengajak pelakunya kepada kelanggengan dan bertambahnya rezeki, terhindar dari petaka musibah, dapat menyembuhkan penyakit, memperoleh ganjaran pahala yang berlipat dan pada gilirannya insya Allah akan mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya kelak.

Marilah kita jadikan bersedekah sebagai simbol dan syiar Islam, terutama pada bulan Ramadhan ini. Teladan kita, Baginda Rasul SAW adalah manusia yang paling murah hati (dermawan), terutama pada bulan–bulan Ramadhan.

Penulis tinggal di Damaskus-Suriah. Email: miruddinthamrin@yahoo.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it
 
Baca selengkapnya »

Keutamaan Berpuasa di Bulan Ramadhan

0 komentar
Sepuluh keutamaan orang-orang yang berpuasa yang ada pada umat ini.

Pertama, Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Kata Nabi dalam satu haditsnya, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari-Muslim)

Kedua, Allah telah mengfungsikan puasa umat Nabi Muhammad saw sebagai benteng yang kokoh dari siksa api neraka, sekaligus tirai penghalang dari godaan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasul bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).

Rasul menambahkan pula bahwa puasa yang berfungsi sebagai perisai itu layaknya perisai dalam kancah peperangan selama tidak dinodai oleh kedustaan dan pergunjingan. (HR. Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, Allah memberikan keistimewaan kepada ahli puasa dengan menjadikan bau mulutnya ada nilainya. Sehingga Rasul bertutur demikian, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah dari bau minyak misik.”

Keempat, Allah memberikan dua kebahagiaan bagi ahli puasa, yaitu bahagia saat berbuka dan pada saat bertemu dengan Allah kelak. Orang yang berpuasa dalam santapan bukanya meluapkan rasa syukurnya di mana bersyukur termasuk salah satu ibadah dan dzikir.

Syukur yang terungkap dalam kebahagiaan karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk menyempurnakan puasa di hari tersebut sekaligus berbahagia atas janji pahala yang besar dari-Nya. “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Yaitu berbahagia kala berbuka dan kala bertemu Allah.” (kata Rasul dalam hadits riwayat imam Muslim).

Kelima, puasa telah dijadikan oleh Allah sebagai medan untuk menempa kesehatan dan kesembuhan dari beragam penyakit. “Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu`aim).

Abuya menegaskan bahwa rahasia kesehatan di balik ibadah puasa adalah bahwa puasa menempa tubuh kita untuk melumatkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh dan mengosongkan materi-materi kotor lainnya dari dalam tubuh.

Menurut kerangka berpikir Abuya, puasa ialah fasilitas kesehatan bagi seorang hamba guna meningkatkan kadar ketakwaan yang merupakan tujuan utama puasa itu sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183).

Keenam, keutamaan berikutnya yang Allah berikan kepada ahli puasa adalah dengan menjauhkan wajahnya dari siksa api neraka. Matanya tak akan sampai melihat pawai arak-arakan neraka dalam bentuk apapun. Rasul yang mulia berkata demikian, “Barangsiapa berpuasa satu hari demi di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, dan Nasa`i).

Ketujuh, dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At Taubah: 112).

Sebagian ulama ahli tafsir menerangkan bahwa orang –orang yang melawat (As Saihuun) pada ayat tersebut adalah orang yang berpuasa sebab mereka melakukan lawatan (kunjungan) ke Allah. Makna lawatan, tegas Abuya, di sini adalah bahwa puasa merupakan penyebab mereka (orang yang berpuasa) bisa sampai kepada Allah. Lawatan ke Allah ditandai dengan meninggalkan seluruh kebiasaan yang selama ini dilakoni (makan, minum, mendatangi istri di siang hari) serta menahan diri dari rasa lapar dan dahaga.

Sembari mengutip al-Qur’an pula, Abuya mencoba menganalisa surah Az Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Orang-orang yang bersabarlah maksudnya adalah orang yang berpuasa sebab puasa adalah nama lain dari sabar. Di saat berpuasalah, orang-orang yang bersabar (dalam beribadah puasa) memperoleh ganjaran dan pahala yang tak terhitung banyaknya dari Dzat Yang Maha Pemberi, Allah swt.

Kedelapan, di saat puasa inilah Allah memberi keistemewaan dengan menjadikan segala aktivitas orang yang berpuasa sebagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Karenanya, orang yang berpuasa dan ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna (diam) adalah ibadah serta tidurnya dengan tujuan agar kuat dalam melaksanakan ketaatan di jalan-Nya juga ibadah. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Mundih dinyatakan, “Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya merupakan ibadah, dan doanya akan dikabulkan, serta perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya).”

Tentu, tidak dimaksudkan bahwa puasa itu dipenuhi dengan tidur. Bahkan harus sebaliknya, jauh lebih keras.Hanya saja, nilai tidur orang berpuasa di hadapan Allah berbeda dengan tidurnya orang yang tidak berpuasa.

Kesembilan, di antara cara yang Allah memuliakan orang yang berpuasa, bahwa Allah menjadikan orang yang memberi makan berbuka puasa pahalanya sama persis dengan orang yang berpuasa itu sendiri meski dengan sepotong roti atau seteguk air. Dalam satu riwayat Nabi bertutur, "seseorang yang memberi makan orang yang puasa dari hasil yang halal, akan dimintakan ampunan oleh malaikat pada malam-malam Ramadhan…meski hanya seteguk air." (Hr. Abu Ya`la).

Kesepuluh, orang yang berbuka puasa dengan berjamaah demi melihat keagungan puasa, maka para malaikat akan bershalawat (memintakan ampunan) baginya. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari sepuluh keutamaan tersebut.
Baca selengkapnya »

Munas Hidayatullah

Jumat, 28 Mei 2010
0 komentar

Tinggal beberapa lagi Hidayatullah akan menggelar hajatan besar, berupa Musyawarah Nasional (Munas). Munas merupakan institusi tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hal-hal pokok dan mendasar yang menyangkut  dinamika organisasi diputuskan dalam forum besar, baik yang menyangkut perubahan Pedoman Dasar Organisasi, Program Kerja Umum, maupun pergantian kepemimpinan.
Tidak seperti organisasi pada umumnya, Hidayatullah tidak terbiasa dan tidak mentradisikan  Munasnya dengan  meramaikan  bursa calon “Ketua Umum” maupun kepengurusan yang lain. Justru yang lebih ramai adalah membicarakan soal “Program Kerja Umum” yang menjadi mandat   Munas kepada Ketua Umum terpilih. Soal pemilihan Ketua Umum itu bukannya tidak penting, tapi yang lebih penting adalah apa yang dimandatkan kepada Ketua Umum, baru bicara soal siapa yang paling sesuai untuk menjadi mandatarisnya.

Alhamdulillah, Hidayatullah tidak kekurangan kader terbaiknya untuk menjadi Ketua Umum. Masing-masing kandidat mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Masalahnya menjadi sederhana, karena yang akan dipilih adalah kader terbaik yang paling sesuai dengan tugas dan mandat yang akan dipikulkan kepadanya. Ini bukan pilihan ideologis, sebab semua kandidat pastilah kader-kader terbaik yang mempunyai ideologi yang sama, cita-cita perjuangan yang sama, spirit dan semangat yang sama pula. Karenanya, siapa pun yang terpilih nanti harus diterima dengan lapang dada.

Kami patut bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT)  bahwa di Hidayatullah sejak awal menjadikan ukhuwah sebagai pondasi  organisasi. Oleh karenanya, sepanjang sejarahnya di Hidayatullah tidak dikenal istilah “kubu-kubuan”.  Di sini tidak popular pengelompokan suku. Pernikahan antar suku bahkan sudah dipelopori oleh pendiri dan perintis organisasi ini, dan tradisi itu terus berkembang hingga sekarang. Secara berkelakar, Allahu yarham, Ustadz Abdullah Said dulu pernah mengatakan, ”Suatu saat nanti, anak-anak kita tidak menyebut dirinya berasal dari suku Bugis, suku Jawa, atau suku mana saja. Mereka akan dengan bangga mengatakan: saya adalah anak Indonesia.”

Musyawarah di Hidayatullah selama ini bisa berlangsung alot, bahkan menegangkan. Akan tetapi, masing-masing peserta tetap dapat mengendalikan emosi. Mempertahankan pendapat tidak dilarang, asal tetap menjaga etika dan kesantunan dalam berbicara. Adab-adab musyawarah yang selalu disosialisasikan secara intensif  sama sekali bukan dimaksudkan untuk membungkam, apalagi membatasi hak berpendapat, tapi semata-mata menjadikan musyawarah itu dapat berjalan indah, lancar, tanpa ada yang terlukai hati dan perasaannya.

Musyawarah Hidayatullah tidak ingar bingar. Kalau ada publikasi, itupun dalam batas-batas yang wajar dan  proporsional. Kita berkentingan terhadap publikasi karena organisasi ini milik umat, bukan milik pribadi-pribadi. Umat perlu tahu perkembangan Hidayatullah sampai hari ini, sebab mereka tidak bisa mengikuti setiap hari. Mereka tetap mendukung, walau tidak terlibat  setiap hari.

Kalau  Anda ingin datang untuk melihat peserta sidang saling melempar kursi atau menggedor meja, jangan datang ke Munas Hidayatullah. Dijamin di sini tidak akan bakal terjadi. Hidayatullah akan melaksanakan Munasnya dengan tertib, lancar, dan bermutu tinggi, Insya Allah semua akan berjalan mulus, beretika, beradab, dan santun. *SAHID Mei 2010
Baca selengkapnya »

Tak Ada Jalan Buntu, Selama Yakin Pada Allah

Selasa, 06 April 2010
0 komentar
Dalam mengarungi samudra kehidupan, menusia laksana sebuah roda. Kadang ia berada di atas, kadang pula ia berada di bawah. Begitu pula dengan kisah hidup Azam,  pria asal Bojonegoro, Jawa Timur.

Dikisahkan olehnya, ketika ia dalam masa kejayaan, bukan hanya rumah yang menjadi simbol kekayaannya. Mobil yang berjumlah tiga buah, juga menjadi fasilitas yang melengkapi kemewahan yang ia miliki. Belum lagi hasil dari usaha yang ia geluti, jual beli beras, yang omzetnya mencapai 25 ton per-bulan.

Namun malang tidak bisa dihindari, ketika roda kehidupan bergelinding membawanya ke posisi dasar. Usahanya bangkrut, dan utang bertebaran di sana-sini.  Inilah kisahnya yang ditulis dengan bahasa tutur.

Kisah ini saya mulai dari sejarah masuknya saya ke lembaga dakwah. Saya bergabung pada tahun 1995, setelah menyelesaikan studi di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Surabaya tahun 1994, jurusan Fisika.

Langkah bergabung dengan lembaga dakwah bukan langkah mudah. Keputusan ini,  sungguh sangat bertentangan dengan keinginan orangtuaku yang ingin aku menjadi seorang pegawai negeri (PNS).  Maklum, di desa, jarang anak mengenyam bangku kuliah. Apalagi, statusku sebagai sarjana Fisika. Merekapun selalu memaksaku, bahkan tidak jarang dengan menggunakan bahasa yang –kadang-kadang- tidak mengenakkan. Namun, laksana karang di lautan, tekadku untuk berdakwah dan bergabung di sebuah lembaga dakwah tak pernah runtuh, sampai akhirnya mereka pun menyerah.

Saya memilih sebuah lembaga dakwah,  sebagai ‘pelabuhan’, karena saya melihat keindahan Islam di sana, yang sebelumnya tidak pernah saya saksikan di beberapa lembaga lain. Bagaimana para penghuninya menghormati tamu, sungguh mengesankan. Belum lagi melihat para awak yang senantiasa menjaga keistiqomahan dalam menunaikan shalat jama’ah dan shalatul lail (tahajjud), menjadi daya pengikat tersendiri. Pemandangan semacam inilah yang membuat hatiku berbunga-bunga, dan mendesakkan hati untuk segera berbabung.

Selain itu, dulu, di era Orde Baru (Orba) yang sangat otoriter ditambah kejaman Orba, rekayasa intelijen kepada umat Islam yang sangat kasar, membuatku merasa enggan untuk mendaftarkan diri menjadi PNS.

Setelah tiga bulan aktif, saya memutuskan untuk mengakhiri masa lajang, maka nikahlah aku dengan seorang wanita asal Surabaya,  yang notabenya adalah teman kuliah.

Sambil menikmati bulan madu, aku mulai aktif di lembaga dakwah. Berbagai amanah pernah saya emban, mulai dari wakil kepala sekolah (Waka), bendahara Yayasan, dan berbagai amanah lain.

Apapun yang diamanahkan oleh lembaga kepadaku, dengan sekuat tenaga akan aku lakukan dengan sebaik-baiknya.

Merintis Bisnis


Ditengah-tengah kesibukan sebagai aktivis dakwah,  pada 1998, aku memberanikan diri untuk terjun di dunia enterpreunership (kewirausahaan). Dan bisnis yang menjadi incaran adalah jual-beli beras dari desa ke kota.

Bisnis ini aku pilih, karena memang pada saat itu, pasar Surabaya sedang membutuhkan asupan beras yang tinggi. Peluang inilah yang aku baca, kemudian terjun di dalamnya. Adapun daerah asal penyuplaian, saya pilih Bojonegoro karena kabupaten ini merupakan salah satu penghasil beras terbanyak di Jawa Timur (Jatim).

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya dalam waktu satu tahun, aku mampu meraih keuntungan yang cukup besar.  Aku telah mampu mengontrak rumah yang lumayan megah. Mobil tidak hanya satu, aku beli tiga sekaligus. Bila dikalkulasi, omzetku saat itu, mampu mencapai 25 ton, tiap bulannya. Padahal, jujur, modal yang saya gunakan untuk memulai bisnis ini hanya keberanian. Tak sepeser pun uang saya keluarkan untuk memulai bisnis ini. Bukan karena apa-apa, tapi memang tidak ada.

Saya datang ke Bojonegoro menemui salah satu juragan beras di sana, kemudian menjelaskan prihal bisnis yang sedang saya rancang. Ia menyetujui untuk menjadi mitra kerja. Pada awal pengiriman, dia hanya memberikan 3 ton. Lambat-laun, setelah mengetahui perkembangan bisnis ini sangat masif, beliau pun akhirnya berani mengirim seberapapun jumlah yang saya butuhkan.

Bisnis ini terus berjalan dengan lancar, hingga memasuki tahun 2001. karena begitu mudahnya rizki hinggap ke pangkuanku, maka sempat timbul sifat arogansi (sombong) dalam diri. Pernah pada suatu saat, aku hampir ‘ketiban durian jatuh’. Uang sebesar Rp 2,2 Milyar hampir aku dapat namun akhirnya lenyap. Padahal, bisa dikatakan uang tersebut tinggal sejengkal saja menjadi hak milik saya.

Usut punya usut, mungkin, penyebabnya karena kesombonganku. Ceritanya, ketika mengetahui akan mendapat rizki nomplok, aku berkata ke pada istriku, “Bu, lihatlah, siapa diantara teman-temanku yang mampu mendapatkan uang Rp. 2,2 Milyar dalam umur semuda aku?” Maklunm kala itu, umurku masih 34 tahun. Tak disangka, kekotoran hati seperti itulah, rupanya,  yang kemudian menjadi  boomerang  dan biang kehancuran bisnisku.

Roda Berbalik


Selain sifat takabbur yang pernah menyelinap di hati, aku merupakan orang yang paling sering ditipu oleh mitra bisnis. Meskipun aku telah berhati-hati dalam bertindak, tapi tetap saja penipuan itu berlanjut. Mungkin itu adalah salah satu bentuk teguran Allah kepadaku. Puncak dari penipuan itu terjadi pada tahun 2002. saat itu, tersebutlah P.T Pohon Mas dan Goldquest yang mengajak untuk berkerja sama dengan cara menanam saham. Setelah dijelaskan bagaimana sistem kerjanya, aku pun tertarik. Uang sebesar Rp 50 juta, aku serahkan langsung tanpa curiga. Lalu apa yang terjadi? Ternyata itu hanyalah modus penipuan. Maka lenyaplah uang itu entah-brantah.

Mulai dari sinilah bisnisku macet. Untuk menutupinya, mobil aku jual, selain itu aku pun berusaha mencari pinjaman ke teman-teman. Karena tidak mencukupi, maka akhirnya aku putuskan untuk meminjam di beberapa Bank seperti; BRI, BNI, Niaga, Permata. Gali lobang untuk tutup lobang.

Aku benar-benar menjadi orang yang terlilit hutang. Bahkan, karena tidak mampu lagi membayar kontrakan rumah,  aku dan keluarga harus menumpang di rumah mertua.

Tiga tahun kondisi memprihatinkan tak juga berlalu.  Di tengah kekalutan itu, ada kabar yang mengagetkan bahwa rumah yang kami tempati itu akan dijual oleh mertua. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku tak bisa berfikir lagi, mau dibawa kemana keluarga saya ini?. Meskipun saya punya banyak famili, tapi aku tidak akan melibatkan mereka dalam kasus ini.

Singkat cerita, rumah mertua akhirnya terjual seharga Rp. 130 Juta. Dari hasil penjualan, bapak (mertua) memberi kami Rp. 20 juta. Namun belum genap berumur satu minggu, uang itu sudah ludes untuk mencicil hutang-hutangku yang menumpuk. Istriku menangis, sebab, sedianya uang itu akan kamu gunakan untuk mengontrak rumah. Tapi, apalah daya, si-pengutang terus berdatangan menagih.

Di tengah kekalutan, aku datangi temanku. Aku sampaikan permasalahanku dan aku utarakan bahwa saat ini aku sedang butuh kontrakan. Melalui perantaranyalah aku dipertemukan dengan seorang pemilik rumah. Setelah bertemu si-empunya, aku dibingungkan dengan uang kontrakan yang mencapai Rp 16 juta  yang tak mungkin kumili. (sebelumnya, rumah ini ada yang ingin mengontrak sebesar Rp. 36 juta), Lallahu’alam, Karena kelembutan hatinya, kami dipersilahkan menempati rumah tersebut. Sebagai ganti, aku diminta untuk bekerja dengannya. Rumah berukuran 9x10 meter persegi itulah, yang sejatinya bekas kantor, akhirnya menjadi tempat kami sekeluarga bernaung hingga saat ini. Allahuakbar! Puji syukur ku terus kuucapkan kepada Allah yang telah memudahkan segala urusanku.

Membangun Strategi


Setelah mendapat tempat tinggal yang pasti, saya mencoba menata ulang kehidupan. Aku melamar untuk menjadi agen sebuah majalah Islam. Al-hamdilillah diterima. Pelangganku juga lumayan banyak. Untuk majalah, berkisar 30 orang, buletin 50. Selain itu, aku juga berjualan kecil-kecilan. Karena pernah aktif di sebuah lembaga zakat,  akupun ditawari untuk menjadi konsultan seuah lembaga zakat.

Selain disibukkan dengan urusan di atas, aku juga diamanahi untuk merintis badan ‘amil zakat.

Melalui aktivitas-aktivitas inilah, aku bisa kembali bangkit dari sebelumnya. Bahkan, pada bulan Oktober tahun lalu, rumah yang kami (yang semula kontrak telah resmi jadi milik kami). Karena aku telah membelinya seharga Rp 180 juta.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya mampu menanggung beban seberat ini?dan mampu kembali bangkit?. Jawabannya mungkin satu. Dalam menjalani kehidupan, aku memiliki satu prinsip yang membuatku teguh dan tak mudah runtuh.

“Tidak ada jalan buntu selama kita pasrahkan semua urusan kepada Allah.” Sekalipun saat itu saya tidak memiliki sepeser uang, tetapi dengan prinsip itu, Allah senantiasa memperkuat diriku untuk mampu menghadapi ujian demi ujian. 

Sebagai gambaran betapa mujarabnya prinsip tersebut, pernah pada bulan suci Ramadhan, kami kebingungan untuk membayar zakat fitrah. Uang yang kami punya tidak cukup untuk memenuhi kewajiban itu. Namun alhamdulillah, tanpa disangka-disangka,  Allah memberi rizki kami melalui salah satu sahabatku. Sangat luar biasa. Saya senantiasa berpesan kepada Anda, mulai saat ini,  libatkanlah Allah dalam setiap urusan kita. InsyaAllah, semuanya akan terasa lebih mudah.
Baca selengkapnya »

Merasakan Kelezatan Spiritual

Sabtu, 13 Maret 2010
0 komentar
Kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang yang tak bisa menerangi hati manusia.
Tokoh penting Singapura,  Lee Kuan Yew,  pernah mengingatkan generasi mudanya : “ Hidup bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit Singapura. Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam hidup ini. ”Ungkapan arif demi melihat kembali keluhuran tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang kita melihat generasi muda bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi jangka pendek (mata’).

Pertanyaan umum klasik rata-rata calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang berkisar tentang kebimbangan, ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana saya harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa ?”. Tapi sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja dunia seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman ini ketika setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada anak-anak bangsa untuk menjadi “mesin pembuat uang”. Di seberang lain, perguruan tinggi harus merespon permintaan pasar sehingga berurusan dengan tujuan karir-profesi dan penambahan income belaka.

Pada saat yang sama, para guru bangsa, mereka yang berada di koridor kekuasaan, kelas menengah bangsa, merasakan ketiadaan makna hidup semacam itu. Tidak sedikit yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini untuk apa, ketika sudah di puncak ? Ketika semuanya sudah diperoleh dan sangat berlebih ?. Tetapi mengapa seperti terus saja terasa ada yang belum tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ? Seperti ada yang belum terselesaikan ?. Pesona gemerlapan material, prestise,  terbukti membuat pemburunya kecewa ?.

Kata orang, itulah fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk sesama itu kehilangan, bukan mendapatkan. Sungguh, dunia tenggelam dalam kubangan lumpur materialisme.

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.” 
[QS. An-Nur (24) : 39].

Disadari, ternyata hanya pemuasan kebutuhan psikologis, yang tak kunjung terpuaskan. Akibatnya orang yang mempercayakan kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah karakternya. Mereka cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Bangsa sipil yang bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa yang bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan makna hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta. Berebut pengaruh, posisi, nasi dan kursi. Sekalipun harus menghalalkan segala cara. Persetan dengan aturan halal dan haram.

Dari kecil, anak-anak bangsa di dunia, diajarkan kecanduan pada bendawi. Mainan, makanan, dan hal-hal kebendaan. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas konsumen dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh pemenuhan sesaat. Memperlakukan diri sendiri sebagai komunitas, tapi tak terjawabkan semua itu sejatinya untuk apa. Pertanyaan klasik yang tak kunjung terjawab dengan memuaskan. Hidup ini dari mana, untuk apa dan mau kemana ?.

Anak-anak di dunia diajarkan menjadi manusia yang hidup menurut standar sosial yang labil. Menghargai orang lain atas apa yang dimiliki, bukan pada apa yang orang sikapi dan lakukan untuk hidup. Selubung materialisme yang menjadikan mereka sering merasakan kekeringan, kegersangan dan kehampaan hidup.

Materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar dan rapuh. Jarang berkumpul bersama dalam keluarga, serta bingung mengisi waktu senggang menjadi pola kejenuhan baru orang modern. Tak habis-habisnya mereka sibuk dan kekurangan waktu. Makin terasing ditengah keramaian dan kerumunan manusia,  menambah kerumitan hidup manusia. Sebuah keprihatinan sosiologis di ujung abad globalisasi.

“Industri hati yang sepi”, menjadi bisnis baru dunia yang kini banyak diminati masyarakat modern. Mereka merasakan kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa nihilistik. Generasi muda Jepang sekarang membenci orang tua mereka sendiri yang pandangan hidupnya cuma untuk kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan orang tua yang telah membuat hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang sekarang mengisi kehidupannya di malll dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang politik, free seks, dugem, narkoba, yang penging have fun, dan entah apa lagi. Tetapi sayang, mereka tidak menemukan yang dicarinya di sana. Karena kebahagiaan bukan berbentuk barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa yang diidamkan terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan.
Baca selengkapnya »

Membangun Peradaban

0 komentar
Belalang menjadi burung elang,
Kutu menjadi kura-kura,
dan Ulat berubah menjadi naga.
Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.

Metafora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan dagelan “Petruk jadi ratu”. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau tidak syar’ie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status yang abnormal.

Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca bait berikutnya:

Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,

jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin

tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”
.

Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral.

Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.

Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.

Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah.

Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).

Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?

Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.

Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.
Baca selengkapnya »

Berbuat Adil

Sabtu, 13 Februari 2010
0 komentar



  Oleh: Ustd. Abdurrahman Muhammad
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa…” (Al-Maidah)(5)8)
Sekalipun tidak ada tuntunan dari Rasulullah Shalalallahu ‘alaihi wa salam  (SAW), tapi hampir semua khatib selalu menutup khutbah Jumatnyaa dengan menyitir surah An-Nahl (16):90. Ayat ini memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan.
Tradisi mengutip ayat tersebut, dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis yang menghendaki agar perlakuan tidak adil kepada Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu (RA) dan keluarganya segera dihentikan. Dalam pandangan Umar bin Abdul Azis, Ali adalah sahabat utama Rasulullah SAW yang sepatutnya mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang istimewa. Bukan sebaliknya, dihujat, difitnah, dan dilecehkan.

Fitnah terhadap Ali dan para pendukungnya sudah diluar batas kewajaran. Caci maki dan fitnah terhadap keluarga Ali tidak saja dilakukan di wilayah privat, tapi juga ditempat-tempat umum, bahkan di masjid-masjid. Tak sedikit di antara para Khatib yang memanfaatkan mimbar  Jumat sebagai ajang caci maki terhadap Ali dan keluarganya. Padahal, semua orang tahu bahwa Ali adalah orang pertama dari kelompok anak muda yang masuk Islam. Ia kelurga dekat, juga menantu kesayangan Rasulullah SAW. Ali mengikuti hampir semua peperangan menghadapi kaum kafir. Ia sahabat utama yang cerdas sekaligus pemberani. Bahkan ia tergolong sepuluh sahabat yang di jamin masuk surga oleh RAsulullah SAW.

Politik seringkali kejam dan tak berkeprimanusiaan. Fitnah, caci maki, dan pembunuhan karakter kepada orang-orang yang dianggap lawan politiknya dianggap biasa dan lumrah, walaupun lawan politik itu adalah saudara sesama Muslim, atau bahkan saudara kandung. Para pendukung partai pollitik sering “gelap mata”, menganggap apa saja yang datang dari lawan politiknya adalah salah. Sebaliknya, apa yang datang dari partai politiknya adalah benar semua.

Ialam tidak melarang kaum Muslimin  untuk berpolitik, bahkan Islam dan politik seharusnya tidak boleh dipisahkan. Tetapi, hal prinsip yang harus dipegang kuat-kuat bahwa politik yang dijalankan kaum Muslimin adalah politik yang mengedepankan keadilan, dan memihak kepada kebenaran.

Dalam pandangan Islam, keadilan bukan sekedar seruan atau perintah agama. Keadilan adalah sebuah fitrah. Barang siapa yang mencoba-coba berbuat tidak adil, mereka akan merasakan akibatnya, baik secara langsung maupuin tidak langsung. Baik yang bersifat jasadiyah maupun ruhiyah.

Politik Islam hendaknya dapat memperjuangkan dan menegakkan suatu sistem kemanusiaan yang adil, yang menjamin semua pihak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. Sebuah sistem yang menjamin rakyat kecil mendapatkan haknya tanpa rasa takut dari intimidasi dan tekanan para penguasa. Sebuah sistem yang menjamin keadilan distribusi kekayaan dan aset negara. Itulah misi yang diemban para Rasul.

Al-Qur’an mencatat beberapa penguasa yang mengabaikan dan melawan keadilan, satu diantaranya adalah Fir’aun. Terhadap perilaku Fir’aun yang mengabaikan nilai-nilai tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) mendatangkan seorang Rasul yang bertugas untuk mengingatkannya. Ia adalah Nabi Musa Alaihisallam (AS), yang tak lain adalah anak asuhnya sendiri. Ketika peringatan tak lagi dapat menembus kesadarannya, Allah SWT mendatangkan bencana dan menistakannya selama-lamanya.

“Barangsipa yang menguasai umat dari umatku, sedikit atau banyak lalu ia tidak berlaku adil terhadap mereka, maka Allah akan menjerumuskan mukanya ke dalam neraka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bishawab.
Baca selengkapnya »

Jati Diri Mujahid Dakwah

0 komentar



Oleh: Dr. Abdul Mannan
 Jati diri seorang mujahid dakwah secara global terlukis dalam manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW). Seseorang yang telah mendeklarasikan syahadat, pasti menggelora dalam dirinya keinginan untuk meneriakkan bahwa penguasa tungggal di alam ini hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala (SWT).
Konsekuensi dari syahadat ini ada niat untuk membangun peradaban Islam. Pedomannya bertolak dari ajaran wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).

Definisi peradaban Islam sendiri adalah manifestasi keyakinan (iman) terhadap semua sektor kehidupan. Dus, peradaban Islam yang dibangun berfondasikan rukun iman dan rukun Islam.

Pertanyaannya adalah bagaimana membentuk manusia yang berjati diri? Menengok sejarah pengaderan Darul Arqam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Makkah, output (keluaran) pendidikan madrasah adalah menjadikan para kader sebagai pemimpin.
Rasulullah SAW sebagai instruktur tunggal di madrasah Darul Arqam ini senantiasa menyuntikan ajaran tauhid. Peserta didik diajak memahami bahwa Allah SWT adalah sumber cipta dan ilmu (ilmullah).

Setelah mendalami ilmullah akan lahir semangat baru untuk berjuang menegakkan kehidupan yang sistematik. Berjuang tidal dalam satu sektor saja, seperti pendidikan saja, berdagang saja, atau berpolitik praktis saja, namun juga membangun sistem hidup dan kehidupan. Inilah peradaban Islam.

Adakah lembaga pendidikan dewasa ini yang dapat melahirkan sosok manusia seperti itu? Jawabannya, mungkin ada. Mengapa mungkin? Sebab, kita belum tahu dimana lembaga tersebut berada. Apalagi hal ini terkait beberapa aspek, yaitu SIAPA (instruktur) mendidik SIAPA (peserta didik) dan untuk APA (tujuan pendididkan).

Bila kita simak, kurikulum pendidikan Darul Arqam sebelum hijrah hingga hijrah ke Madinah adalah nuzulnya wahyu al-Qur’an. Allah SWT langsung mendidik  Muhammad SAW yang kemudian ditransfer kepada murid-muridnya.

Doktrin rukun iman dan rukun Islam menjadi landasan epistemologi agar manusia mengenal sumber ilmu yang hakiki, yaitu Allah SWT, bukan bersumber dari manusia.

Ajaran tentang epistemologi ini terlukis dalam wahyu pertama, yakni surah Al-‘Alaq.
Bagaimana memodifikasi doktrin rukun iman dan rukun Islam dalam semua materi pelajaran yang disampaikan pada peserta didik? Banyak pakar pendidikan mengatakan, perlu proses pertauhidan ilmu pengetahuan.

Ormas Hidayatullah sedang berproses menuju kearah ini. Hasilnya memang tidak persis sepeti apa yang dicapai oleh Rasulullah SAW dengan alumnus Darul Arqam-nya. Namun, substansi pendidikan diupayakan menyerupai itu, yakni apa yang disebut pendidikan integral, meliputi ilmiah, diniah, dan alamiah.

Salah satu indikator alumnus pendidikan integral Hidayatullah adalah sikap mental yang siap ditugaskan ke mana dan kapan saja. Wakil Presiden Republik Indonesia. Jusuf Kalla, saat pembukaan rapat kerja Nasional Hidayatullah IV di Batam, 2 Desember 2008 lalu, mengatakan santri Hidayatullah bagaikan Kompassus dalam berdakwah. Mereka hanya berbekal ransel dan uang secukupnya untuk satu atau dua hari, sudah bisa hidup ditengah masyarakat.

Kunci sukses pendidikan dangan alumnus seperti ini bertumpu pada dua aspek. Pertama, aspek pembangunan intelektual, yakni melalui jalur klasikal. Kedua, aspek pembangunan jati diri lewat qiyamul lail (shalat malam), tartilul Qur’an (membaca Qur’an dengan tartil), dan kontinyuitas zikir.

Metode seperti ini, selain melairkan kader yang bagaikan “kompassus”, juga melahirkan kader yang sabar, tawakkal, dan mau berhijrah, Insya Allah.
Baca selengkapnya »

"Kader Jangan Cengeng"

0 komentar




Oleh : Ustadz Utsman:
Bagi seorang kader, dalam menjalani hidup ini tak ada kata menyerah, pesimis, apalagi sampai putus asa. Kehidupan untuk di jalani, bukan untuk disesali. Maka, optimislah dan berkerjalah sebaik-baiknya untuk diri dan ummat. Insya Allah, keberkahan hidup akan kita rasakan.

Demikianlah salah satu petikan petuah yang disampaikan salah satu penggerak awal Hidayatullah Ustadz H. Utsman Palese, saat melepas romobongan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIE Hidayatullah) semester 9 dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke Kota Bogor.

"Kader tidak boleh cengeng. Kalau masih ditugaskan di wilayah Jawa Barat ini belum seberapa. Kader harus semangat menyambut tantangan seperti ini" kata Kyai Ustman di depan puluhan jama'ah di Masjidl Ummul Quro, Komplek Kampus Pendidikan Hidayatullah Depok Jawa Barat, Sabtu, 31 Oktober 2009, kemarin.

Malah, tegas dia, untuk melihat militansi seorang kader, harusnya kader itu dilepas bebas ke hutan belantara selama sebulan. "Dilepas tanpa bekal. Cari makan sendiri di hutan dan berdakwah disana, Insya Allah pertolongan Allah pasti ada, yakini ini" katanya semangat.

Kyai Utsman menambahkan, jumlah yang banyak bukanlah jaminan kemenangan dapat di raih. Ia mencontohkan, pada saat perang Badar berkecamuk, ummat Islam pada saat itu jumlahnya sangat sedikit. Namun, karena kedekatan mereka kepada Allah SWT dan ketergantungan mereka hanya pada-Nya, maka ummat Islam dapat meraih kemenangan gilang gemilang.

"Jadi, kader itu tidak boleh mengatakan tidak ada apa-apa di tempatnya bertugas, tapi harus optimis dan selalu mengatakan ada apa-apa, ada kebahagiaan, ada tempat mukim, ada yang bisa di makan, ada pertolongan Allah, Insya Allah," tandas pria enerjik jebolan Angkatan Kader Muballigh Muhammadiyah ini.

Sebagaimana termaktub dalam agenda akademik STIE Hidayatullah, mahasiswa semester 9 pada awal November 2009 ini akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama satu bulan. Wilayah yang akan disambangi kali ini adalah Kecamatan Sukaharjo Kota Bogor.

Rencanannya, siang hari nanti pukul 13:00 selepas sholat Dhuhur akan dilkakukan seremoni penyambutan mahasiswa yang akan melakukan praktek kerja lapangan ini oleh aparat desa dan warga setempat.

"Alhamdulillah, Ini merupakan apresiasi dan inisiatif dari bapak Kepala Desa dan warga di wilayah Sukaharjo," ujar Soesilo Gunawan, SE, Kepala Bagian Kemahasiswaan STIE Hidayatullah, saat dimintai keterangannya.


Baca selengkapnya »

Konsisten Dalam Berjuang

0 komentar




Oleh: Dr. Abdul Mannan
 Misi Mujahid dakwah adalah amar ma’ruf nahyi munkar, menegakkan kebenaran dan menghindari kemungkaran, di mana pun berada dan bagaimanapun keadaannya. Menyuruh berbuat baik jelas tidak ringan, apalagi mencegah berbuat munkar, jauh lebih berat lagi. Konsistensi dan teladan seorang mujahid dakwah jelas dituntut, baik di rumah tangganya sendiri, di tengah masyarakat, di hadapan penguasa Negara, dan di teratak pertarungan ideology. Dahsyat memang! Tapi semua itu harus ia jalankan demi memperoleh ridha dari Sang Penguasa Langit dan Bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).

Kata seorang sufi kepada anak didiknya, “Engkau lebih baik di benci oleh semua makhluk di alam semesta dari pada di benci Allah SWT. Bagitu pula engkau lebih mulia di cintai Allah SWT dari pada di cintai makhlluk yang durhaka.
Pekerjaan dakwah akan diridhai Allah SWT jika didasarkan atas niat karena Allah SWT. Mulai dari memungut sampah di teppi jalan, hingga menegakkan Khilafah Islamiyah. Semua itu dakwah. Itulah peradaban Islam.
Jika dakwah didasari atas dimensi peradaban Islam seperti itu akan mudahlah mencerna ajaran-Nya. Bukan gontok-gontokkan  antara umat  Islam sendiri. Gontok-gontokkan sesame Muslim bukanlah perangai Islami. Justru akan mencoreng nama baik ajaran Ialam yang mulia.
Dulu, Islam dipentaskan oleh pelaku peradaban Islam angkatan pertama, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa SAllah (SAW) bersama para sahabatnya, dengan perilaku yang berdab berkat sentuhan iman. Kini, keberadan umat Islam marginal dan semua aspek.
Mengapa marginal? Ini terjadi karena umat Islam yang indah dan mempesona. Lunak dalam penampilan, tegar dalam pendirian. Sayangnya, semua itu sudah pudar dari diri umat Islam. Terjadi banya faksi dalam tubuh kaum Muslim sebagai konsekuensi pudarnya keyakinan.
Sudah waktunya umat Islam bangkit. Dari mana memulainya dan apa patokannya? Jika patokannya dimulai sejak wafatnya rasulullah SAW, lantas di beri nama apa peradaban terseut? Bukankah peradaban itu dibangin atas dasar ide yang turun dari langit? Bukankah semua pakar peradaban, baik yag bertolak dari pemikiran religi hinggga sekuler, sepakat bahwa peradaban itu di bangun dari ajaran agama?
Dalam hal ini, Hidayatullah telah menetapkan bahwa membangun peradaban Islam dimulai sejak turunya wahyu pertam (al-Alaq). Al- Alaq mengandung metodologi ajaran “kesadaran” akan ber-tuhan dengan benar dan menyadarkan bahwa diri manusia itu penuh limitasi. Oleh karena itulah peradaban Islam dibangun atas dasar ajaran tauhid yang terus menurunkan segala aspek aturan hidup dan kehidupan.
Metode kesadaran yang dieksplorasi dari wahyu pertama ini melahirkan manusia ulung dan agung sepanjang sejarah keumatan. Para sahabat sebagai inner circle mendapat predikat ‘asyaratul kiram (sepuluh sahabat mulia) yang dijamin masuk surga tanpa hisab setelah itu empat puluh sahabat yang lain, dan seratus lima belas sahabat yang lain lagi.
Kader inti Rasulullah Saw tersebut merangkai kekuatan antara Mujahidin (dari Makkah) dan Anshar (penduduk madinah) untuk menjadi satu kekuatan di bawah komando Rasulullah Saw. Kekuatan ini terbukti mampu membebaskan Makkah dari kesyirikan.
Kekuatan ini muncul dari kajian wahyu yang pertama yang refleksinya memancar pada kekuatan spiritual yang di bangun melalui qiyamul lail, tartitul Qur’an, dan dzikir yang kontinyu. Tiga sarana pemberdayaan spiritual ini melahirkan jiwa yang sabar (konsisten) dalam berjuang, hijrah, dan tawakal.
Baca selengkapnya »

Dakwah Hidayatullah

0 komentar




Oleh: Ustd. Abdurrahman Muhammad
Abdurrahman Muhammad"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat    petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang disesatkan-Nya    dan sekali-kali mereka tidak mempunyai penolong." (An-Nahl 37).
Para ahli tafsir sepakat bahwa yang dituju ayat di atas adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam (SAW). Beliau, menurut ayat di atas menyimpan keinginan keras dan hasrat yang kuat agar umatnya hidup dalam naungan hidayah Allah Shubhanahu wa Ta'ala (SWT). Beliau sangat merindukan kehidupan yang damai, semua yang ada di muka bumi tunduk patuh dan taat pada aturan dan kehendak Ilahi.

Sama halnya dengan Nabi SAW, para dai, dan mujahid Islam juga memendam keinginan yang sama. Mereka berkeinginan agar kaum Muslimin saat ini dapat menjalankan syariat agamanya dengan baik, tanpa gangguan dan rintangan. Mereka juga berhasrat kuat agar kekuasaan yang ada di muka bumi menjadi instrumen ilahiyah untuk menjalankan perintah dan larangan-Nya.

Inilah kerja para dai, muballigh, dan guru agama. Mereka bahagia jika manusia menjalankan perintah agama dengan baik. Sebaliknya, bersedih jika melihat manusia menentang agama, melanggar syariah-Nya. Siang malam mereka bekeija dan berdoa agar Islam dapat menyebar sebagai rahmat kepada seluruh alam.

Paradai yang bekerja keras menyebarkan ajaran Islam tanpa digaji pemerintah ini pantang menyerah menghadapi medan sang berat. Hanya dengan bekal keikhlasan dalam beramal, mereka menelusuri jalan dakwah dengan semangat    berapi-api. Dalam jiwanya ada gumpalan kehendak untuk menyebarkan hidayah Islam kepada segenap  manusia. Tidak ada yang bisa mengerem, apalagi menyetop sama sekali.

Sesekali para dai dan mujahid dakwak itu boleh marah bercampur kecewa setelah melihat ada persekongkolan jahat untuk menggagalkan gerakan dakwah. Sesekali mereka boleh hampir putus asa ketika mengetahui para penguasa, para pengambil kebijakan, dan para tokoh yang dipercayainya justru menjalin kerjasama jahat untuk memecundangi Islam.

Perasaan yang sama sesungguhnya telah dialami oleh para nabi dan rasul. Bahkan, dalam al-Qur`an banyak didapati keterangan tentang kesedihan dan kemarahan Rasulullah SAW.  "Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman."(Asy-Syu'araa 3).

Tentu saja, ledakan kemarahan dan kesedihan itu tidak boleh ditumpahkan dalam bentuk aksi yang merusak dan perbuatan yang mengancam keselamatan orang banyak. Kita boleh marah dan bersedih hati, bahkan hampir putus asa, tapi kita wajib tetap bias mengendalikan diri.

Bahkan kalau bisa, hilangkan perasaan marah, sedih hati, atau kecewa. Tanamkan dalam diri sendiri bahwa pemilik agama Islam itu adalah Allah SWT. Dia berkuasa untuk menjaganya, bahkan tanpa bantuan siapa pun juga. Tugas kita hanya berdakwah, menyampaikan kebenaran kepada manusia.    Selebihnya, hasilnya serahkan kepada Allah SWT.

Jangan bersedih atas ulah dan perbuatan mereka. Allah berfirman, “Maka janganlah kamu bersedih terhadap orang-orang kafir itu." (Al-Maaidah :68).

Sebagai dai dan mujahid kita tidak boleh larut dan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kepatus asaan. Kita harus sadar bahwa langkah perjuangan kita bukan hanya hari ini dan untuk hari ini. Dakwah itu untuk Jangka panjang. Jika hari ini     belum berhasil, biarlah anak cucu kita yang melanjutkan. Itulah ladang dakwah dan perjuangan mereka.

Hidayatullah sebagai wadah bergabungnya para dai menyadari sepenuhnya hal tersebut. Untuk itu, sejak awal Hidayatullah menegaskan dakwahnya dengan mengikuti manhaj nabawi, suatu metode   berdakwah yang mengikuti cara-cara nabi, yang sistematis, berjenjang, bertahap, dan berkelanjutan.
Baca selengkapnya »

Jadilah Visioner Religius

0 komentar



Oleh: Dr. Abdul Mannan
Setiap orang punya beban. Beban itu berbeda-beda, tergantung seperti apa visi dan misi hidupnya. Visi dan misi hidup ini pula yang menentukan seperti apa seseorang menyikapi beban yang terpikul di pundaknya. Jika visi dan misi itu jelas maka beban yang berat terasa tak akan ada masalah.
Andai kita tanya kepada seseorang apa alasan ia memilih visi dan misi tertentu dalam hidupnya, sangat jarang kita temukan alasan yang bersifat fundamental, yang ingin mengubah hidup manusia sejagat. Meski ia tahu keinginan ini tak akan tercapai seutuhnya, minimal ia berusaha mengubah lingkungan di mana ia berada. Itulah visi dan misi seorang pemimpin.
Pertanyaannya, apakah sekarang ini masih ada pemimpin yang berorientasi menyelamatkan manusia sejagat? Jika ada, konsep apa yang akan ia pakai?
Saat ini umat manusia tengah menghadapi kesesatan yang berkepanjangan. Salah satu indikatornya adalah kesenjangan ekonomi yang luar biasa di masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin. Masyarakat tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah terbangunnya jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin itu suatu penyebab? Jelas bukan! Jurang itu adalah dampak, akibat, bukan sebab! Penyebab utamanya adalah sikap manusia yang telah meninggalkan Sang Pemilik Alam Semesta, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT).
Ketika manusia meninggalkan Sang Pencipta, maka berarti ia sudah tergoda untuk mencari landasan hidup yang tidak diajarkan oleh Allah SWT. Itulah landasan hidup yang dikarang oleh manusia sesuai dengan keinginannya. Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan kesesatan, kezaliman, dan mengikuti hawa nafsu.
Padahal, manusia punya keterbatasan berpikir, sementara Allah SWT maha luas pengetahuan-Nya. Manalah mungkin buatan manusia bisa mengalahkan buatan Sang Pencipta.
Sejarah telah mencatat hal ini. Perilaku penguasa yang berorientasi dunia berakhir dengan kehinaan. Namrud dan Fir'aun adalah contohnya. Begitu juga Hitler, Stalin, dan Musolini.
Anehnya, kezaliman sebagaimana dipertontonkan para penguasa itu tetap diikuti pula oleh para penguasa dunia sekarang ini. Yang paling tragis, kezaliman itu dipertontonkan oleh mereka yang justru kerap mengampanyekan hak asasi manusia (HAM).
Lihatlah penindasan yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya atas Irak dan Afghanistan. Begitu juga kesadisan Israel mengganyang Palestina. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai polisi dunia tak berdaya menghadapi mereka.
Rupanya mereka mengamini apa yang diungkap pemikir Barat, Samuel Huntington, bahwa kaum Muslim dengan keimanannya adalah musuh paling berbahaya setelah komunis ambruk. Islam dianggap ideologi berbahaya yang harus segera dijauhkan dari kaum Muslim.
Lalu, apakah ada seorang visioner yang mau memikirkan perdamaian abadi di dunia ini? Pasti masih ada, entah di mana keberadaannya. Alasannya, Allah SWT pasti tidak pasif mengambil tindakan penyelamatan dunia. Dialah yang berkehendak atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan alam semesta in Apakah dunia ini dilestarikan atau dihancurkan, Dialah yang memiliki hak prerogatif.
Seorang visioner yang berniat menciptakan perdamaian dunia hanya bisa bergantung kepada pertolongan Allah SWT. Hanya melalui hidayah-Nya, seorang visioner akan mampu mengekspresikan munajatnya.
Dunia saat ini mengharapkan hadirnya seorang visioner religius yang seluruh urat nadinya teraliri ilham ilahiyah sesuai kehendak Allah SWT. Seorang visioner yang mampu menghentikan kezaliman manusia, mengubahnya dengan tatanan dunia yang terampuni.
Mari; memasuki tahun 2010 ini, kita niatkan dalam hati kita untuk ambil bagian dalam tugas mulia tersebut. Wallahu a'lam.
Baca selengkapnya »
 

Template Information

Contact Us

Kotak Pesan

Random Post

husnah

statistics

visitor

Followers

Copyright © Hidayatullah Medan All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv